Mohon tunggu...
Agung Arif Yuni Hasan
Agung Arif Yuni Hasan Mohon Tunggu... Lainnya - Lagi Belajar Menulis

ASN di Kementerian Agama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ulama atau Bukan Sih?

30 November 2021   11:56 Diperbarui: 30 November 2021   12:22 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang Indonesia seringkali latah saat menyebut seseorang sebagai ulama. Dikit kelihatan beragama, entah ngomongnya atau pakaiannya, dah langsung kesebut sebagai ulama. Jadilah kemudian kategori ulama ini turun derajat bahkan seringkali jadi olok olok karena orang yang terlanjur digelari ulama perilakunya jauh dari norma agama.

Saya nggak akan membahasnya secara serius, namun karena ketika orang digelar ulama kemudian terkenal, maka akan banyak yang kemudian mengikuti dan mempercayainya sebagai teladan. Padahal tidak semua orang yang berbicara acara adalah orang yang berilmu agama dan layak memberikan nasehat agama.

Maka ada beberapa macam orang ketika ia berbicara agama:

1. Mereka yang benar benar mencurahkan waktu hidupnya untuk mempelajari agama. Orang kategori ini tidak akan berpuas diri dengan bisa membaca atau hafal qur'an dan hadits. Ia akan senantiasa haus ilmu sehingga tergerak untuk mempelajari berbagai ilmu yang berkaitan dengan pemahaman sumber utama hukum Islam. Ia akan akrab dengan ilmu bahasa, ilmu sosial hingga ilmu filsafat. Kategori ini tidak lagi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari pembelajarannya, namun ia mencari pemahaman yang paripurna atas ajaran agama.  

Kategori inilah yang patut disebut sebagai ulama. Ia yang berhak untuk memberikan fatwa hukum. Meski demikian ia akan sangat berhati hati dalam memberikan nasehat  atau fatwa agama. Bukan karena pelit, namun karena banyaknya pertimbangan atas pemahaman ilmu yang demikian banyak membuat ia akan lebih sedikit berbicara untuk menghindari kekeliruan. Mereka tidak segan menjawab tidak tahu ketika ada pertanyaan atas satu hal daripada memberikan jawaban yang tanpa dasar. 

Merekalah yang menjaga agama dengan keikhlasan dan tanpa pamrih. Kategori pertama ini banyak kita temukan di lembaga lembaga pendidikan keagamaan dengan masa pembelajaran yang lama.

 Misalnya di Pondok Pesantren yang tidak terikat kurikulum kelulusan. Seorang santri di pondok tidak akan diijinkan pulang (lulus) bila dianggap belum menguasai secara matang keilmuan agama beserta perangkat untuk memahaminya. Setelah keluar dari pondok-pun ia tidak akan berhenti untuk terus belajar. Kategori ini tidak mengejar ketenaran sehingga hiruk pikuk media sosial dan internet tidak menyilaukan mereka.

2. Mereka yang berbicara agama namun tidak sampai pada derajat memberikan fatwa. Pemahaman agamanya mungkin diatas rata-rata orang pada umumnya. Namun pengetahuan agamanya tidak didukung dengan pengetahuan mendalam dalam menyimpulkan hukum. Kategori ini cukup menyampaikan apa yang telah disimpulkan para ulama. 

Jenis pertama dari kategori ini adalah mereka yang senantiasa menyandarkan pendapat dan pembicaraannya pada pendapat ulama di kategori pertama. Jenis kedua adalah mereka yang berbicara agama namun tidak menyampaikan bahwa yang dibicarakan adalah pendapat ulama yang lebih mumpuni, sehingga terkesan menjadi pendapatnya sendiri. Kategori kedua ini banyak kita temukan pada para muballing atau penceramah agama. 

Mereka yang terkenal di media sosial dan internet banyak masuk kategori ini. Selain ada dasar pemahaman agama, kategori ini pandai berbicara dan memberikan pemahaman pada orang lain.

3. Orang yang sembrono berbicara agama

Kategori ketiga ini adalah mereka yang tidak mempunyai pemahamana agama yang baik namun berbicara agama. Kategori ini mungkin mempunyai kemampuan berbicara yang baik. Pandai memberikan moptivasi dan nasehat. Kata-katanya mudah dimengerti dan difahami sehingga orang senang mendengarnya. Kategori ini mudah tergelincir memberikan nasehat dengan menukil ayat atau hadits dengan metode cocoklogi. 

Motivator, pelaku MLM, penjual obat ataupun salesman, bisa jadi akan masuk kategori ini ketika mereka kemudian berbicara agama dengan memanfaatkan kemampuan bicara-nya. 

Di Internet, kategori ini lebih banyak bertebaran daripada kategori kedua. Mereka membuat konten agama dan menguploadnya untuk mendapatkan banyak follower dan subscriber dan berharap akan mendapat keuntungan.

4. Orang yang memanfaatkan agama dengan niat buruk

Kategori ke empat ini lebih buruk daripada kategori ke tiga. Selain tidak mempunyai pemahaman agama yang baik. Ia malah berbicara agama dengan tujuan jahat. Biasa jadi ia berbicara dan memakai dalil agama namun  justru memberikan citra buruk pada agama ataupun pemeluknya.

Kategori ini memhamai bahwa orang lebih mudah dipengaruhi dengan sentimen agama, sehingga ia menggunakannya untuk mempengaruhi jalan fikiran orang lain.

Kategori ini selalu ada  dengan berbagai kepentingan. Ketika ada kepentingan ekonomi, orang menggunakan dalil agama untuk meyakinkan orang lain supaya memberikannya keuntungan. Ketika ada kepentingan politik, orang biasa menggunakan dalil agama untuk mendukung kepentingan politiknya.

Tulisan ini nggak masuk kategori ilmiah. Tidak pake data data njlimet dan detail sehingga tidak 100% bisa dikatakan benar, bahkan bisa jadi banyak meleset juga, namun anda bisa menilai bahwa tidak semua orang yang berbicara agama patut diikuti dan dijadikan panutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun