Sementara di luar sana, banyak polemik yang terjadi ketika sebuah wacana dilontarkan hakim MK terpilih tentang kesetujuannya untuk menghilangkan kolom agama di KTP. Reaksi masif datang menanggapi. Ada yang setuju namun tidak sedikit yang kontra. Ada yang mengatakan dengan pengosongan kolom agama, Indonesia perlahan menjadi negara yang tidak beragama. Ada yang mempermasalahkan jika kolom agama kosong, bagaimana mereka bisa mendoakan rakyat yang kecelakaan dan meninggal di jalan. Sampai ada yang kekeuh mengatakan jika tidak beragama maka orang tersebut adalah komunis.
Well, Komunisme adalah ideologi politis. Agama sesuatu yang bersifat personal. Sampai sekarang saya tidak paham dengan konsep cocoklogi yang mengaitkan agama dan komunis. Seperti yang dikatakannya bahwa yang tidak beragama berarti komunis. Selanjutnya kenapa begitu kolom agama dikosongkan, kita langsung mempermasalahkan cara mendoakan ketika rakyat tersebut meninggal? Kenapa harus mati yang dijadikan acuan pembelaan terhadap kolom agama?
Lalu ketika republik ini berdiri, para pendahulu kita tidak melulu mempermasalahkan agama namun lebih kepada bagaimana bisa merdeka dari penjajah. Sekarang sepertinya kita dijajah pemikiran atas nama agama di negeri sendiri. Jika perlu bukti, bisa dilihat kembali isi Sila pertama dari Pancasila. Apakah bersifat merangkum secara general atau superior akan satu agama / kepercayaan?
Apakah ini berarti pengkategorian sosial dalam hal agama merupakan cara yang tepat? Atau ini sebuah sistem pengaturan agar masyarakat lebih patuh terhadap kekuasaan yang lebih besar atas nama agama? Karena sekarang ini banyak orang beragama tapi tidak memiliki rasa empati terhadap manusia lainnya. Mereka berdoa, bersembahyang namun saling mencerca dan melukai satu sama lain atas nama agama. Saya kembali terbayang akan kata – kata dari Tenzin Gyatzo, Dalai Lama ke 14 yang meraih nobel perdamaian pada tahun 1989. Dia berkata, “My religion (agamaku) is very simple (sesuatu yang sederhana). My religion is Kindness (kebaikan) ”. Duh, apakah anda tidak merasa tertampar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H