Lebih lanjut, Pada Tanggal 7 Januari 2021 Pemerintah telah mengundangkan Perpres 7 tahun 2021 tentang RAN Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme tahun 2020-2024 mendefiniskannya sebagai Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang selanjutnya disebut RAN PE adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terencana untuk mencegah dan menanggulangi Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme yang digunakan sebagai acuan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme.
Labelling Theory                                                                Â
Dalam bukunya Crime, Shame and Reintgration (1989), John Braitwaite membicarakan masalah kondisi dimana reaksi social meningkatkan kejahatan, sebagaimana diyakini para penganut labeling teori, atau menurunkan kejahatan sebagaimana didukung oleh prediksi penghukuman. Pelanggaran-pelanggaran hukum menyebabkan lahirnya percobaan formal dari Negara serta usaha-usaha informal dari keluarga dan anggota masyarakat untuk mengontrol perbuatan salah itu.
Inti dari yang disebut Braithwaite sebagai shaming yaitu "all processes of expressing disapproval which have the intention or effect of invoking remorse in the person being shamed and/or condemnation by other who become aware of the shaming". Lalu Braithwaite membagi shaming menjadi dua macam yaitu : reintegrative dan disintegrative.
Dalam hal ini yang akan berlaku pada KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) Menurut dari Teori Labelingnya Braitwaite dilihat dari disintegrative shaming yaitu menstigmatisasi dan meniadakan. Jadi akan menciptakan suatu label bagi KKB merupakan kelas orang-orang yang terusir dan terbuang atas suatu kejahatan yang dilakukannya. Pelaku tidak hanya dihukum atas perbuatannya tetapi juga di cap sebagai penjahat yang distigma oleh masyakatat. Akibatnya pelaku akan ditolak dari pekerjaan serta kesempatan yang sah lain untuk bergabung dengan masyarakat konvensional.
Langkah Selanjutnya                                             Â
Langkah Pertama, Mengutip pendapat dari Ketua Gugus Tugas Papua UGM, Bambang Purwoko, menyebut bahwa pendekatan sosial budaya diperlukan untuk menangani kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang masih menjadi teror di sejumlah wilayah di Papua. Pendekatan ini diperlukan khususnya terhadap kelompok bersenjata yang memiliki dendam masa lalu karena keluarga mereka menjadi korban dari tindakan operasi TNI-Polri (Gloria, Ugm.ac.id, 20/4/2021). Langkah ini yaitu pendekatan adat, misalnya dengan bayar denda adat atau bayar kepala dan upacara perdamaian. Tujuannya untuk memutus mata rantai dendam. Selanjutnya Persoalan KKB juga perlu ditangani secara sinergis antara TNI-Polri dengan Pemerintah Daerah, dan Tokoh Adat Papua dengan melakukan upaya Preventif memberikan pendidikan mengenai sosialisasi kebangsaan yang mumpuni pada Masyarakat Papua mengenai 4 pilar kebangsaan.
Langkah Kedua, Menurut Penulis langkah yang harus dilakukan di wilayah Papua terhadap kejahatan yang dilakukan oleh KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) yaitu dengan melakukan penegakan hukum sesuai dengan koridor dan hukum yang berlaku di indonesia, apabila KKB sudah ditetapkan dengan Label Terorisme maka Penegakannya harus sesuai dengan isi dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang.
Langkah diatas harus dibarengi pula dengan pendekatan yang terbaik adalah Membarenginya dengan pendekatan kesejahteraan, pendekatan sosial, ekonomi dan budaya, sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pihak LIPI maka permasalahan yang menjadi sebab munculnya suatu gerakan-gerakan radikal juga harus ditanggulangi dengan cara memperbaikinya secara komprehensif.