Mohon tunggu...
Agung Winarko
Agung Winarko Mohon Tunggu... Lainnya - freedom narrator

No status - Non status quo | "Every deep thinker is more afraid of being understood than of being misunderstood" - F.N

Selanjutnya

Tutup

Trip

New Normal: Matinya Tourism dan Rekreasi, What's Next?

2 Juli 2021   20:53 Diperbarui: 2 Juli 2021   21:32 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Unik jikalau memperhatikan sektor pariwisata mencoba menggeliat setelah tersungkur dihantam pandemi covid19. Mulai dari konsep restart tourism, virtual tourism, promo travelling sampai kicauan-kicauan netizen yang nadanya sama : semoga pandemi lekas pergi, kondisi kembali seperti semula dan bisa travellng lagi.

Benarkah kondisi ini bisa kembali semula ?  Logis saja ya, sangat kecil kemungkinannya. Pandemi ini adalah shifting. Lembaran bab format baru sejarah dunia. Yes, kita sudah sampai di masa depan.

Welcome New World Order, di mana protokol kesehatan adalah tren. Yang dibutuhkan bukan lagi masa lalu tetapi paradigma baru. Oleh karenanya banyak kebiasaan dan gaya hidup kita di masa sebelum pandemi yang tidak relevan dengan saat ini. Salah satunya adalah pariwisata dan rekreasi.

Sangat miris melihat #restarttourism yang baru menggeliat mengiringi euphoria vaksinasi kemudian dihantam kembali oleh isu virus covid varian delta. Konsep tourism apalagi yang akan digodok setelah ini ? sementara keadaan di luar tidak semakin membaik.

Kita telah salah persepsi.

Kita salah sangka terhadap pandemi ini. Kita tidak sedang hidup seperti dulu di mana atmosfernya adalah hiperaktif sehingga membutuhkan rekreasi. Sampai-sampai rekreasi itu sendiri menjelma menjadi sebuah hiperrealita yang menjalar dan melahirkan konsep tourism atau pariwisata yang kita kenal sekarang.

Kita tidak paham bahwa hari ini kita hidup dalam atmosfer fear. Ketakutan, kecemasan, kekhawatiran. Apakah dalam situasi mental seperti ini yang kita butuhkan rekreasi ?

Kontemplasi. Itulah yang tidak kita sadari kita butuhkan hari ini, bukan rekreasi. Ketenangan, kekaleman, keteduhan. Bukan kegembiraan, keriuhan dan kesukacitaan. Bukan berlomba untuk menjangkau sejauh-jauhnya hari ini tetapi berlomba untuk diam, tenang, fokus dan efisien. Spirit ini jelas sangat bertolak belakang dengan tourism.

Tourism is done. Waktunya cooling down.

Kontemplasi, adalah ruh dari paradigma baru hari ini. Ketenangan, fokus dan efisiensi mobilitas adalah spirit yang menggantikan kebiasaan riuh, simpang siur dan mubazir kita dulu. Tidak perlu galau karena ini adalah take and give - keseimbangan yang datang secara alami. Yang anda perlu lakukan adalah legowo dan tunduk mengakui kedigdayaan covid19. Jangan menantang dia untuk mengembalikan kedigdayaan kita dulu, itu sangat out of context. Kalo orang bilang 'bebal'.

Tourism telah mati. What's next ?

Productive contemplation, ini istilah saya. Itulah what should be coming next. Sebuah upaya kontemplasi yang feeling-nya seperti tourism. Seperti apa wujudnya ?

Istilah ini berawal setelah saya melihat instastory @sariefebriane tentang kiriman buah nanas hasil panen mandiri, yang kemudian menggiring saya ke akun instagram @bowiechampa sampai akhirnya terdampar di akun @bregadium. Konten kedua akun itu didominasi oleh foto-foto perkebunan dan hasil panen yang dilakukan secara mandiri dan menurut saya revolusioner. Yup, inilah productive contemplation.

Anda tahu shaolin temple ?

Bayangkan ada pandemi listrik (mati listrik) di seluruh dunia. Semua gadget, komputer, networking mati. Komunikasi antara desa dan kota terputus. Distribusi food source ke kota mati. Distribusi pupuk ke desa terganggu. Siapa yang bertahan hidup dan tetap terpenuhi kebutuhan pangannya ? Kemungkinan besar penghuni kuil shaolin yang konsisten mengelola tanah dengan tangan-tangannya sendiri untuk memproduksi food source.

Kontemplasi yang menghasilkan sumber pangan (food source). Ini sejatinya passion yang geraknya selaras dengan format pandemi.  Back to nature.

Pasangan serasi manusia itu adalah food source, tidak bisa dipungkiri. Bukan bioskop, shopping mall atau festival musik. Dan ketika kita melakukan ini percaya kata-kata saya : anda akan tenang, bersyukur dan merasa lebih hidup tatkala tangan anda memetik dan menggenggam buah yang anda tanam sendiri. Percaya diri anda tumbuh, fungsi diri meningkat dan imunitas anda prima. Inilah rekreasi jaman now.  Rekreasi yang didefinisikan ulang oleh Diraja Covid19.

Masalahnya adalah kita mau berkebun di mana ? Kanan kiri kita perumahan,  mall, gedung.

Silahkan intip akun instagram @4eat.jkt. Perhatikan bagaimana cerdasnya mereka menghasilkan cuan melalui ternak ikan dan sayuran organik dari balik tembok di tengah-tengah aspal perumahan. Itulah sesungguhnya cikal bakal dan blueprint 'rekreasi' yang akan menggantikan konsep tourism kita yang sudah halu dan 'ketinggalan jaman'.

Back to nature. Itulah paradigma.

Dan jangan salah! bukan hanya rekreasi yang harus didefinisikan ulang dengan paradigma ini. Bahkan pendidikan pun harus .... sudah semestinya.

Don't need to think out of the box. Just take a look at yourself.

Still, keep waras, keep alive

*kontemplasi : bahasa gampangnya merenung, meditasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun