Mohon tunggu...
Agung Winarko
Agung Winarko Mohon Tunggu... Lainnya - freedom narrator

No status - Non status quo | "Every deep thinker is more afraid of being understood than of being misunderstood" - F.N

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasisme Itu Tradisi, Anti-Rasisme Itu Politis

1 Juli 2021   19:14 Diperbarui: 1 Juli 2021   19:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Sebuah Dekonstruksi aksi bertagar #blacklivesmatter, June 2020)

Tahun 1960, seorang Bruce Lee membawa kabur Linda ketika orang tua Linda yang kaukasia (bule) menolak keinginan Lee yang berdarah tionghoa menikahi anaknya. Seiring ketenaran dan kesuksesan Lee pemikiran rasisme yang mengkultur dalam diri orang tua Linda berangsur-angsur teredam.

Rasisme done.
Lalu apakah seluruh keluarga besar Linda akan berpikir dengan cara yang sama seperti orang tuanya ? Apakah itu tetangganya, kerabatnya atau kebanyakan orang di Amerika Serikat saat itu ?

Tentunya tidak. Alasannya ? karena itulah kultur, tradisi yang ada dalam masyarakat (bule). Sebelum rasisme yang ada adalah tradisi. Sekelompok orang yang telah nyaman hidup dalam kesamaan (ciri, identitas). Kapan tradisi itu berubah menjadi rasisme ? ketika sekelompok orang itu melakukan ekspansi, eksodus, hijrah atau rantau dan bertemu dengan kelompok lain.

Tradisi menemui tantangannya, yaitu tradisi yang lain. Individu merasa perlu mem-proteksi identitas kelompoknya. Saat kita merasa "perlu" menyatukan kedua kelompok masyarakat itulah kemudian kita berbicara anti-rasisme.

Hari ini, bagaimana kita akan menyebut rasisme jika afro, asia, bule sama-sama berjingkrak dan lebur dalam konser Lady Gaga. Atau sekelompok bule dan asia yang menari di tengah konser diva hispanik, Jenifer Lopez. Tokoh Nick Fury yang afro dalam film Avenger (padahal seharusnya bule) pun begitu familiar, tak kunjung jadi bahan perdebatan.

Dan suatu ketika kita melihat seorang polisi kaukasia yang "membunuh" seorang afro kita spontan menyebutnya rasisme alih-alih sebuah kriminalitas atau kasus pembunuhan ? atau alih-alih menyebutnya gangguan kejiwaan ?

Yang menjadi pertanyaan bukan apakah rasisme bisa hilang tetapi apakah anti-rasisme benar-benar ada ?

kita tidak akan protes dengan iklan sabun yang menampilkan image wanita yang berkulit putih sebagai ukuran cantik. Atau sosok pria bule sebagai gambaran pria sukses. Seandainya kita menentang pun, tak juga berdaya meninggalkan channel televisi itu. Tanpa sadar kita sudah dibiasakan dan berdamai dengan "pop-racism"

Kultur berevolusi, meninggalkan bentuk rasisme yang lama dan menciptakan "rasisme" yang baru berwujud diskriminasi dalam televisi langsung menuju ruang keluarga kita. Dan kita memberi ruang untuk itu.

Ketika simbol lama (kaukasia & afro) bertemu dalam suatu kejadian George Floyd, mendadak isu rasisme yang  lama ditonjolkan kembali. Orang-orang menentangnya dengan cara yang sama seperti di era krisis rasisme di AS pada tahun 60an (aksi massa, kerusuhan, penjarahan). Pada titik ini sebaiknya kita bertanya apakah  anti-rasisme adalah sebuah simulacra ?

Istilah simulacra diperkenalkan oleh pemikir aliran postmodern, Jean Baudrillard. Simulacra, secara sederhana ibarat anda mengambil wadah untuk memetik buah jambu. Ketika wadah itu penuh buah jambu dan masih ada sedikit ruang tersisa anda isi bagian atasnya dengan sedikit buah stroberi. Lalu anda mengemas dan menjualnya seakan-akan itu sewadah penuh buah stroberi. Seolah-olah anda menjual stroberi yang pada kenyataanya adalah jambu.

Dalam jual-beli hal seperti ini ujungnya akan dikecam oleh pembeli. Tetapi dalam simulacra sebaliknya.  justru orang maklum dan senang mendapatkan barang "oplosan" itu. Orang terbiasa mendapatkan barang halusinasi itu. Itulah simulacra bercampur aduk antara tanda (simbol) dengan objek yang diwakilinya. Penampakan kecil stroberi mengambil alih (mengecoh) persepsi kita untuk mengetahui apa isi wadah yang sesungguhnya. Dan kita menerima persepsi abstrak itu dengan serta merta

Anti-rasisme #blacklivesmatter yang digemakan dalam kasus George Floyd menunjukan bahwa seakan kita masih beperang dengan kultur lama (rasisme lama) sementara kenyataan di Amerika Serikat antar ras sudah melebur hebat dan jauh melangkah.

Apakah gejolak anti-rasisme itu serupa dengan stroberi di atas tumpukan jambu (simulacra) ?

Sudah bertahun-tahun wacana dan jargon bertema penentangan rasisme didengungkan, tetapi kita sulit menerima fakta bahwa kultur-kultur ras di dunia yang begitu banyak sudah hidup lebih dulu dan mengakar. Lontaran wacana-wacana anti-rasisme itu ibarat kita memasang kacamata hitam di mata kita karena kita tidak sanggup menutupi seluruh permukaan matahari.

Rasisme tidak akan pernah (benar-benar) hilang.  Akan selalu ada ruang untuk itu.

Kita harus menerima kenyataan di atas bila ingin mencapai satu hal ini : mendefinisikan anti-rasisme yang sesungguhnya.

Wacana, gerakan anti-rasisme dulu dan hari ini harus kita akui hanyalah kumpulan halusinasi, tumpukan paper, kumpulan tagar di media sosial. Eksis tetapi hanya menjadi penanda dan bukan petanda - tumpukan kecil stroberi di atas jambu.

Wacana, gerakan anti-rasisme hanyalah momen yang menandai adanya seorang Nelson Mandela , Abe Lincoln, Martin Luther. Pembatas-pembatas buku. dan bukan buku itu sendiri.

Wacana, gerakan anti-rasisme tidak lebih dari sebuah aksi politis. Berlaku secara mekanis ketimbang komprehensif. Tagar #blacklivesmatter seolah meng-kooptasi (menyandera) simpati netizen untuk "latah" tanpa mereka diberi kesempatan untuk memikirkan secara kritis apa sesungguhnya yang benar-benar terjadi. Seolah takut akan adanya pandangan, tanpa menyematkan tagar tersebut berarti seseorang adalah bukan bagian dari mereka. (yang bisa diartikan, bagian dari rasisme). Polarisasi.

Aksi anti-rasisme tak luput menjadi korban sengkarut tanda dan fakta dalam oplosan simulacra. Disruption, akal kita lumpuh. Tak mampu lagi memilah mana yg sesungguhnya mana yang tidak. Hanya jiwa latah yang tersisa dalam simpang siurasiur dan porak poranda tanda di media sosial.

Bruce Lee tidak memprotes perlakuan dan pandangan sinis orang-orang kaukasia terhadap dirinya. Dia tidak pula membuat buku, artikel, jurnal yang mengkritik soal itu. Yang dia lakukan adalah mengenali dirinya sendiri sampai satu titik dia mendapati dirinya tidak lagi menemui rasisme.

Jackie Chan, Denzel Washington hanyalah contoh kecil orang yang berhasil membuat dirinya mampu mengatasi masalah rasisme. Kita dapat berangkat dari inspirasi, metode, spirit dan cara-cara mereka untuk bisa membebaskan "anti-rasisme" dari jeratan simulacra dan menyegarkan kembali ide kita tentang apa itu anti-rasisme.

Bila kita sudah memijak di batu yg tepat, pada saatnya langkah itu akan menuntun kita mengubah ide anti-rasisme dari halusinasi menjadi solusi. Dari pembatas menjadi buku. Dari politis menjadi kultur.

Go get out of the books. And think out of the box.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun