Mohon tunggu...
Agung Winarko
Agung Winarko Mohon Tunggu... Lainnya - freedom narrator

No status - Non status quo | "Every deep thinker is more afraid of being understood than of being misunderstood" - F.N

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Rasisme Itu Tradisi, Anti-Rasisme Itu Politis

1 Juli 2021   19:14 Diperbarui: 1 Juli 2021   19:20 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anti-rasisme #blacklivesmatter yang digemakan dalam kasus George Floyd menunjukan bahwa seakan kita masih beperang dengan kultur lama (rasisme lama) sementara kenyataan di Amerika Serikat antar ras sudah melebur hebat dan jauh melangkah.

Apakah gejolak anti-rasisme itu serupa dengan stroberi di atas tumpukan jambu (simulacra) ?

Sudah bertahun-tahun wacana dan jargon bertema penentangan rasisme didengungkan, tetapi kita sulit menerima fakta bahwa kultur-kultur ras di dunia yang begitu banyak sudah hidup lebih dulu dan mengakar. Lontaran wacana-wacana anti-rasisme itu ibarat kita memasang kacamata hitam di mata kita karena kita tidak sanggup menutupi seluruh permukaan matahari.

Rasisme tidak akan pernah (benar-benar) hilang.  Akan selalu ada ruang untuk itu.

Kita harus menerima kenyataan di atas bila ingin mencapai satu hal ini : mendefinisikan anti-rasisme yang sesungguhnya.

Wacana, gerakan anti-rasisme dulu dan hari ini harus kita akui hanyalah kumpulan halusinasi, tumpukan paper, kumpulan tagar di media sosial. Eksis tetapi hanya menjadi penanda dan bukan petanda - tumpukan kecil stroberi di atas jambu.

Wacana, gerakan anti-rasisme hanyalah momen yang menandai adanya seorang Nelson Mandela , Abe Lincoln, Martin Luther. Pembatas-pembatas buku. dan bukan buku itu sendiri.

Wacana, gerakan anti-rasisme tidak lebih dari sebuah aksi politis. Berlaku secara mekanis ketimbang komprehensif. Tagar #blacklivesmatter seolah meng-kooptasi (menyandera) simpati netizen untuk "latah" tanpa mereka diberi kesempatan untuk memikirkan secara kritis apa sesungguhnya yang benar-benar terjadi. Seolah takut akan adanya pandangan, tanpa menyematkan tagar tersebut berarti seseorang adalah bukan bagian dari mereka. (yang bisa diartikan, bagian dari rasisme). Polarisasi.

Aksi anti-rasisme tak luput menjadi korban sengkarut tanda dan fakta dalam oplosan simulacra. Disruption, akal kita lumpuh. Tak mampu lagi memilah mana yg sesungguhnya mana yang tidak. Hanya jiwa latah yang tersisa dalam simpang siurasiur dan porak poranda tanda di media sosial.

Bruce Lee tidak memprotes perlakuan dan pandangan sinis orang-orang kaukasia terhadap dirinya. Dia tidak pula membuat buku, artikel, jurnal yang mengkritik soal itu. Yang dia lakukan adalah mengenali dirinya sendiri sampai satu titik dia mendapati dirinya tidak lagi menemui rasisme.

Jackie Chan, Denzel Washington hanyalah contoh kecil orang yang berhasil membuat dirinya mampu mengatasi masalah rasisme. Kita dapat berangkat dari inspirasi, metode, spirit dan cara-cara mereka untuk bisa membebaskan "anti-rasisme" dari jeratan simulacra dan menyegarkan kembali ide kita tentang apa itu anti-rasisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun