Di awal 2000-an dulu, saya sempat tersirep membaca artikel milik seorang aktivis Kolektif Kontra Kultura (KKK) tentang film Terminator. Mereka menafsirkan film tersebut sebagai representasi tentang dampak agenda kapitalisme global dan industri.
Agak membingungkan mengikuti lompatan alur cerita film Terminator yang bersekuel-sekuel itu, tapi inti ceritanya begini: bahwa dunia di masa depan hancur oleh bencana nuklir. Robot-robot ciptaan manusia mengambil alih dan mendominasi muka bumi melalui Artificial Intelligence (AI). Dan umat manusianya sendiri malah hidup sembunyi-sembunyi dan bergerilya melawan robot-robot itu yang memburu, menangkapi dan ingin memusnahkan mereka.
Mesin dan teknologi mengambil alih kehidupan manusia? Padahal dulu waktu saya kecil sering halu bareng teman-teman membayangkan kalau tahun milenium 2000 kelak mobil-mobil simpang siur berterbangan mirip di film  Bruce Willis "The Fifth Element"
Kenyataannya tidak, semua relatif biasa saja. Tidak ada mobil terbang, paling banter cuma drone berseliweran. Tetapi ada satu teknologi yang tidak bisa dianggap remeh di zaman milenium ini, dan menurut saya cukup monumental, yaitu aplikasi photoshop.
Bukan mobil terbang, bukan juga robot pengangkut nuklir  seperti imajinasi virtual Hideo Kojima. Melainkan alat pengedit, perekayasa dan pengolah citra foto dan video.
Aplikasi semacam ini dimiliki oleh siapa saja, dari berbagai lapisan ekonomi dan pendidikan. Kaum remaja, muda, tua bahkan anak-anak. Skill-nya pun bisa dipelajari lewat tutorial online. Variannya lengkap mulai dari yang paling mudah dioperasikan sampai yang pro.
Outputnya ? Silahkan periksa di medsos anda. Bertebaran unggahan foto dan video editan di facebook, instagram, tiktok, youtube dan lainnya.
Tidak perlu waktu khusus untuk mengoperasikan aplikasi ini, di mana saja, kapan saja bahkan sambil rebahan. Kebanyakan kaum remaja dan muda milenial yang piawai menggunakan aplikasi ini secara 'militan'. Sebagian besar penggiat media sosial adalah kelompok mereka ini demi berlomba-lomba memenuhi tuntutan konten medsos mereka.
Saking banyak bertebaran karya-karya digital ini hingga banyak orang awam yang gagal membedakan apakah foto/video itu asli atau palsu. Dengan aplikasi ini anda bisa menciptakan ulang video seorang yg berpidato dan merekayasa ucapannya dengan audio yang mirip-mirip.
Atau memanipulasi sebuah foto lokasi wisata di luar negeri milik seseorang dan menambahkan sosok gambar diri anda di dalamnya seolah-olah anda ada di sana. Terlebih kaum hawa yang sudah maestro memainkan aplikasi seperti beauty plus menyulap tampilan rupa semulus artis korea.
Perlu waktu dan keahlian untuk memastikan keaslian suatu foto/video, tetapi sebaliknya tidak perlu waktu lama bagi orang-orang untuk percaya citra digital itu sebagai benar/nyata.
Reka, rilis dan sebarkan di medsos. Semudah itu.
Welcome to Disruption Era. Suatu era di mana batas antara keaslian dan kepalsuan kabur absurd melebur menjadi satu (post-truth). Merajalelanya konten-konten hoax dan manipulatif. Sulit membedakan asli dan palsu.
Saya coba deskripsikan disrupsi ini meminjam dari instastory  @sariefebriane yg pernah saya lihat dulu : #hiperrealitas. Dalam dunia kewartawanan sering ada keyakinan begini "tulisan bisa berbohong, foto tidak, video juga tidak" Keyakinan tsb di zaman seedan ini salah total. Foto dan video pun bisa menjadi produk kebohongan luar biasa yg lebih impresif. Foto/video punya daya tipu yg bisa amat fatal.
"Things are not always what they seem; the first appearance deceives many. The intelligence of a few perceives what has been carefully hidden."
The Age of Disruption. Era carut marut. Kelumpuhan massal daya nalar manusia di depan citra rekaan manusia itu sendiri.
Apa hubungannya dg film Terminator ?
Jikalau dulu KKK menafsirkannya sebagai 'pembantaian massal' jiwa sosial manusia oleh produksi massal industri-industri global yang melahirkan 'zombi masyarakat konsumtif'.
Hari ini saya melihat pola serupa yang next level : pembantaian intelektualitas dan daya nalar manusia.
Kemarin jiwanya, sekarang yang dihabisi nalarnya. Nalar yang membidani lahirnya perangkat teknologi itu sendiri.
Hari ini manusia kesulitan memindai kebenaran/validitas informasi di tengah terjangan banjir bandang konten media sosial. Mesin-mesin gadget mereka memburu pemiliknya pagi siang malam bak segerombolan pasukan robot yg memburu kawanan manusia di film itu. Tanpa ampun, tanpa jeda. Konten hoax, rekayasa, manipulatif berhamburan liar seolah peluru pasukan mesin itu yang beterbangan menghabisi intelijensi manusia.
Layar gadget mengambil alih daya kritis manusia dan menggantikannya dengan konten-konten rekayasa yang seolah-olah nyata.
Sampai akhirnya manusia bertumbangan, merasa bahwa dunia digital penuh ilusi itulah realitas mereka yg sesungguhnya. Merampas dunia nyata mereka yang ada di luar digital.
Mesin versus manusia. Skor dua - kosong.
Dengan dirampasnya nalar ini, maka genaplah kekuasaan mesin atas diri manusia. Kondisi ini akan mengamplifikasi apa-apa yg sudah dikuasai sebelumnya : konsumerisme 4.0 , propaganda 4.0, agitasi 4.0, rasisme 4.0, bullying 4.0, fitnah-ghibah 4.0, perang 4.0. kerusuhan 4.0.  Manusia tidak semakin beradab seiring kemajuan teknologinya, justru sebaliknya ketidakberadabannya yang upgraded naik level four-point-o.
Manusia mutlak tunduk dengan algoritma aplikasi dan intelijensi-buatan (AI) yang mereka karang sendiri. Mereka tidak berdaya hidup di depan dominasi medsosnya. Sudah mirip di film Terminator belum ?
Yah seperti halnya tulisan saya ini, yang sama-sama tidak berdaya dan tak ada arti tanpa bantuan 'juragan' robot-robot medsos. Beramal saja perlu medsos agar makin efektif dan luas jangkauannya.
Tidak melulu teknologi itu mengamplifikasi hal-hal yang buruk. Tapi yang buruk selalu lebih menarik bagi kebanyakan orang. Ya karena itu tadi, jiwa dan nalarnya sudah dihabisi. Semua orang bebas membuat, menyebarkan dan mempercayai apa saja. Tidak perlu lagi newsroom, kartu pers atau izin penerbitan.
Jujur saja, saya tidak tahu bagaimana meloloskan diri dari 'rezim totaliter' mesin-mesin aplikasi digital ini. Bahkan saya menyebutnya Pandemi Medsos. Tapi jika ada yang bertanya saya hanya akan menjawab begini :
Perhatikan cara kerja jamur cordyceps. Bentuknya sangat  kecil dan halus hingga bisa masuk tanpa disadari ke dalam rongga tubuh serangga seperti jangkrik atau semut. Apa yang dilakukan di dalam tubuh itu ? Dia lari menuju otak serangga dan mengambil alih 'kendali' otak itu. Apa yang dipikirkan otak itu bukan lagi apa yang dipikirkan si serangga melainkan apa yang dipikirkan jamur mungil itu ! Dia akan memacu tubuh serangga itu memanjat ke ujung pohon tertinggi dengan kecepatan yang serangga itu sendiri tidak sanggup melakukan sebelumnya. Sampai di pucuk tertinggi... POPSS ! Kepala serangga itu pecah dan tumbuhlah wujud asli cordyceps yang gagah menjulang memijak kepala serangga malang itu. Sejatinya serangga itu sudah mati sejak kehilangan kendali atas otak/akalnya.
Moral of story... silahkan pikirkan dan renungkan sendiri jalan keluarnya. Mudah-mudahan setiap kita punya cara. Cari jalan keluar masing-masing dan sampai jumpa di pinggiran dunia digital.
(Ending a radio broadcast)
This is John Connor.
If you are listening to this message,
you are the Resistance.
~ John Connor, "Terminator Salvation", 2009
Remedinya cuma satu: gunakan sebaik-baiknya kesadaran kita setiap kali melototin layar. Kebenaran (hanya) bisa diciduk oleh critical thinking, bukan oleh mata atau panca indera.
~ @sariefebriane, instastory.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H