Mohon tunggu...
Agsa Bagaskara
Agsa Bagaskara Mohon Tunggu... Operator - Seminaris

Dimas anjayy mabar professional!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Independensi dalam Menghadapi Keabsurdan Hidup Menurut Stoisisme

13 Agustus 2022   22:16 Diperbarui: 13 Agustus 2022   23:45 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di suatu masa, adalah seorang raja tiran bernama Sisifus. Ia dihukum oleh para dewa untuk harus mendorong sebuah batu besar ke puncak sebuah gunung seumur hidupnya. Dengan sekuat tenaganya, ia mendorong batu itu naik sampai ke puncak. 

Namun, karena berat dari batu itu sendiri, batu itu menggelinding kembali ke bawah. Sisifus pun kembali ke bawah dan mendorong batu itu kembali sampai ke puncak, lalu batu itu kembali menggelinding ke bawah. Hal ini berlangsung secara berulang, tiada habisnya. Begitulah, sisa hidup Sisifus ia habiskan hanya untuk mendorong ke puncak gunung sebuah batu yang nantinya hanya akan kembali ke bawah. 

Bukankah hal ini merupakan hal yang aneh dan tidak masuk akal? Bukankah pekerjaan yang dilakukan oleh Sisifus ini adalah pekerjaan yang tidak berguna dan tidak bermakna? Albert Camus dan para filsuf eksistensialis lain menyebut situasi hidup dalam “Mitos Sisifus” ini sebagai “absurd”. Tragisnya, situasi hidup ini juga telah dan tengah dijalani oleh manusia.

Camus mengemukakan bahwa manusia memiliki kerinduan alamiah untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kejernihan sejati, namun manusia sendiri tidak memiliki kemampuan untuk memahami dunia dan mencapai kebenaran; inilah yang disebut sebagai absurd. Lewat karya-karya sastra dan esainya juga, – seperti L’Étranger, La Peste, l’Homme Révolté, dll. – Camus berpendapat bahwa hidup manusia itu absurd, sia-sia dan tidak bermakna karena pada akhirnya manusia akan mati. 

Keabsurdan hidup semakin relevan dengan adanya penderitaan, konflik, ketidakadilan, konflik, peperangan, rasa sakit, wabah penyakit, dan kematian sebagai misteri yang tidak dapat dimengerti oleh manusia, padahal manusia sendiri selalu merindukan dan memperjuangkan perdamaian dan kebahagiaan. Mengapa manusia harus hidup, jika pada akhirnya harus menderita dan tiada? Apa tujuan sejati diciptakannya manusia? 

Kehidupan menimbulkan banyak persoalan yang tidak bisa dijawab secara rasional; semakin dipersoalkan, pemahaman semakin ruwet, dan persoalan semakin gelap, bahkan menimbulkan kontradiksi dan dilema. 

Pemecahan soal hanyalah sementara, untuk kemudian timbul persoalan baru. Kehidupan tidak menawarkan suatu makna apapun. Tidak ada jalan keluar dari kenyataan absurd ini, justru karena itu hidup ini disebut absurd.

Kalau hidup ini memang absurd, lalu bagaimana dengan moral dan agama yang memberikan makna dan alasan untuk tetap hidup? Memang, manusia dapat mencari dan menciptakan makna dalam hidupnya; hal ini tercermin lewat keberadaan mitos, kepercayaan, harapan, moral, filsafat, dan agama yang telah manusia ciptakan. 

Namun, bagi Camus, hal-hal seperti itu merupakan kesia-siaan, sebab tidak realistis, bersifat subjektif, dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. 

Ketika manusia memberi makna, ia seolah-olah memberi kepastian bahwa hidup ini sama seperti yang ia maknai, padahal kehidupan sendiri tidak memberikan kepastian dan jaminan apa-apa. Hal seperti ini disebut oleh Camus sebagai “bunuh diri filosofis”.

Dengan begitu, manusia hanya jatuh pada pengingkaran terhadap realitas kehidupan yang absurd dan penipuan diri demi melanjutkan hidup. Itulah mengapa, agama dan ketuhanan juga tidak dapat dipercaya sebagai solusi atas persoalan hidup ini. 

Friedrich Nietzsche – salah seorang filsuf eksistensialis – mengungkapkan demikian: “... Kepercayaan akan Allah adalah pelarian yang paling mudah untuk memecahkan persoalan, tetapi tidak tepat mengena inti permasalahan, maka juga tidak efektif sebagai jalan keluar...”. Jika Tuhan sungguh baik, mengapa Dia mengirimkan wabah COVID-19 dan mendatangkan penderitaan serta kematian kepada banyak orang tanpa terkecuali? 

Berharap pun juga hal yang sia-sia karena masa depan pun bersifat misterius dan absurd. Pada akhirnya, segala bentuk manifestasi makna yang ada di dunia ini hanyalah kesia-siaan, nihil adanya, dan absurd.

Kalau hidup ini memang seabsurd itu untuk dijalani, bukankah lebih baik manusia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri? Memang, dalam konteks absurditas, bunuh diri tidak perlu dipersoalkan. Namun, Camus menentang perbuatan bunuh diri – secara biologis maupun filosofis – karena bunuh diri itu sendiri tidak memberikan pemecahan masalah atas absurditas. 

Kematian itu sendiri absurd, penuh dengan misteri dan ketidakpastian, masakan persoalan tentang absurditas hidup dijawab pula dengan absurditas yang lain? Intinya, perbuatan bunuh diri justru akan semakin mendukung dan memperkuat absurditas. Lantas, dihadapan absurditas hidup ini, apa yang harus dilakukan oleh manusia?

Belajar dari Sisifus, manusia sebenarnya tetap dapat hidup dengan bahagia tanpa memiliki makna. Tidak seharusnya manusia berusaha mencari makna karena hal tersebut hanyalah sebuah pelarian sia-sia dari absurditas dan kekosongan yang memang sudah menjadi realitas kehidupan dan dunia. 

Camus mengemukakan bahwa manusia harus menerima kenyataan dunia yang absurd ini dengan bahagia, lalu “memberontak” agar manusia tidak terlindas begitu saja oleh tragedi kehidupan yang absurd ini. 

Memberontak dalam konteks ini berarti berani independen, memilih bahagia bukan karena pencarian makna yang sia-sia, namun bahagia karena “aku sendirilah yang memutuskan untuk jadi bahagia”. Hal ini selaras dengan apa yang diajarkan oleh filsafat Stoisisme.

Tidak seperti filsafat lain yang cenderung mencari makna atas kehidupan yang terjadi di sekitar manusia, Stoisisme justru mengajarkan manusia untuk “abai” terhadap segala sesuatu yang berada di luar pribadi manusia. Dalam Stoisisme dikenal suatu dikotomi bernama “dikotomi kendali”. 

Dalam dikotomi kendali ada dua pemisahan hal-hal yang ada di dunia, yakni “hal-hal yang berada di dalam kendaliku”, dan “hal-hal yang berada di luar kendaliku”. “Hal-hal yang berada di dalam kendaliku” ialah jiwa, pikiran (rasio), dorongan, dorongan untuk menolak, hasrat, opini, penilaian, dan segala sesuatu yang terkait dengan pikiran serta tindakan kita; semuanya itu bersifat internal dalam diri kita.

Sedangkan, “hal-hal yang berada di luar kendaliku” ialah nasib, tubuh, relasi, harta kekayaan, kekuasaan, opini orang lain, tindakan orang lain, iklim, cuaca, kelahiran, umur, reputasi, keluarga, kehormatan, popularitas, trend, pandemi COVID-19, dan lain sebagainya yang bersifat tidak dapat kita inginkan secara sepenuhnya; semuanya itu eksternal di luar diri kita. 

Manusia tidak dapat mencari dan menggantungkan kebahagiaan dan makna hidupnya pada hal-hal yang tidak dapat ia kendalikan; perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang irasional, absurd.

Dalam Stoisisme, kebahagiaan dan makna sejati hanya berasal dari hal-hal yang berada dalam kendali manusia. Sederhananya, kebahagiaan ini hanya dapat berasal dari dalam diri manusia. 

Dengan daya rasional, persepsi, dan pikiran manusia itulah kebahagiaan dan makna sejati dapat ditemukan, karena mereka merupakan hal yang merdeka di bawah kendali manusia. Sebagai analogi, adalah seekor anjing yang talinya terikat pada sebuah gerobak. Anjing ini memiliki dua pilihan. 

Pilihan pertama adalah anjing tersebut memilih untuk melawan arah gerobak dan terus menerus mencoba melawan hingga akhirnya kehabisan tenaga dan terseret dengan keadaan tercekik. 

Sedangkan pilihan kedua adalah anjing memilih untuk mengikuti arah dan kecepatan gerobak. Pada pilihan yang kedua ini anjing memiliki kesempatan untuk bergerak dengan tidak tercekik, mampu melihat pemandangan, tidak membuang-buang tenaganya, dan dapat bergerak lebih bebas saat gerobak tersebut berhenti, sehingga ia dapat merasa bahagia.

Dunia dan kehidupan yang begitu absurd ini sama seperti gerobak yang menarik si anjing dalam analogi di atas. Manusia tidak dapat mengontrol keabsurdan yang menimpanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menerima dengan tulus dan bahagia realitas yang menimpanya, lalu beradaptasi dan memberontak terhadapnya. 

Pemberontakan manusia dinyatakan lewat pilihan sikap dan tindakan mereka terhadap absurditas hidup. Pemberontakan di sini – yang digagas oleh Camus – bukanlah pemberontakan yang bersifat reaktif tanpa olah pikir. Memberontak berarti terus berjuang menjalani kehidupan yang absurd dengan kesadaran akan ‘ke-kini-an’ dan ‘ke-di sini-an’ (hic et nunc). 

Dalam kesadaran ini pula Sisifus menyadari bahwa perjuangannya yang tanpa henti membawa dirinya kepada kemenangan atas ‘batu’ nasib hidupnya. Puncak kemenangannya bukanlah ketika batu mencapai puncaknya, melainkan ketika ia berjuang mendorong batu mencapai puncak berulang-ulang tanpa henti.

Sumber dari buku:

Wibowo, A. Setyo. 2019, Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, Yogyakarta: PT Kanisius.

Manampiring, Henry. 2019, Filosofi Teras, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Evans, Jules. 2021, Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, Yogyakarta: Penerbit PT Bentang Pustaka.

Weiner, Eric. 2020, The Socrates Express, Bandung: Penerbit Qanita.

Sumber dari internet:

https://medium.com/@nasyavinalifia/absurditas-kehidupan-bisakah-manusia-hidup-bahagia-di-dalamnya-7c8c33720803, diakses pada tanggal 21 Maret 2022, pukul 11.43 WIB.

http://kolomsosiologi.blogspot.com/2011/06/sedikit-tentang-absurditas.html, diakses pada tanggal 21 Maret 2022, pukul 11.43 WIB.

https://www.kaskus.co.id/thread/59d78f3c1854f710528b4578/quothidup-ini-absurdquot-sebuah-diskursus-teori-absurditas-albert-camus/, diakses pada tanggal 21 Maret 2022, pukul 11.43 WIB.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun