Mohon tunggu...
Agsa Bagaskara
Agsa Bagaskara Mohon Tunggu... Operator - Seminaris

Dimas anjayy mabar professional!!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Independensi dalam Menghadapi Keabsurdan Hidup Menurut Stoisisme

13 Agustus 2022   22:16 Diperbarui: 13 Agustus 2022   23:45 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam Stoisisme, kebahagiaan dan makna sejati hanya berasal dari hal-hal yang berada dalam kendali manusia. Sederhananya, kebahagiaan ini hanya dapat berasal dari dalam diri manusia. 

Dengan daya rasional, persepsi, dan pikiran manusia itulah kebahagiaan dan makna sejati dapat ditemukan, karena mereka merupakan hal yang merdeka di bawah kendali manusia. Sebagai analogi, adalah seekor anjing yang talinya terikat pada sebuah gerobak. Anjing ini memiliki dua pilihan. 

Pilihan pertama adalah anjing tersebut memilih untuk melawan arah gerobak dan terus menerus mencoba melawan hingga akhirnya kehabisan tenaga dan terseret dengan keadaan tercekik. 

Sedangkan pilihan kedua adalah anjing memilih untuk mengikuti arah dan kecepatan gerobak. Pada pilihan yang kedua ini anjing memiliki kesempatan untuk bergerak dengan tidak tercekik, mampu melihat pemandangan, tidak membuang-buang tenaganya, dan dapat bergerak lebih bebas saat gerobak tersebut berhenti, sehingga ia dapat merasa bahagia.

Dunia dan kehidupan yang begitu absurd ini sama seperti gerobak yang menarik si anjing dalam analogi di atas. Manusia tidak dapat mengontrol keabsurdan yang menimpanya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menerima dengan tulus dan bahagia realitas yang menimpanya, lalu beradaptasi dan memberontak terhadapnya. 

Pemberontakan manusia dinyatakan lewat pilihan sikap dan tindakan mereka terhadap absurditas hidup. Pemberontakan di sini – yang digagas oleh Camus – bukanlah pemberontakan yang bersifat reaktif tanpa olah pikir. Memberontak berarti terus berjuang menjalani kehidupan yang absurd dengan kesadaran akan ‘ke-kini-an’ dan ‘ke-di sini-an’ (hic et nunc). 

Dalam kesadaran ini pula Sisifus menyadari bahwa perjuangannya yang tanpa henti membawa dirinya kepada kemenangan atas ‘batu’ nasib hidupnya. Puncak kemenangannya bukanlah ketika batu mencapai puncaknya, melainkan ketika ia berjuang mendorong batu mencapai puncak berulang-ulang tanpa henti.

Sumber dari buku:

Wibowo, A. Setyo. 2019, Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, Yogyakarta: PT Kanisius.

Manampiring, Henry. 2019, Filosofi Teras, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Evans, Jules. 2021, Filosofi untuk Hidup dan Bertahan dari Situasi Berbahaya Lainnya, Yogyakarta: Penerbit PT Bentang Pustaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun