Pada Juni 2012, kami bersama dengan panitia khusus (Pansus) DPRD Kabupaten Humbang Hasundutan melakukan pemetaan untuk menentukan tapal batas wilayah kami. Hasil pemetaan sudah disampaikan ke Kementrian Kehutanan melalui Bupati Humbang Hasundutan dengan surat No. 522/083/DKLH/2012 tertanggal 25 Juni 2012 supaya wilayah adat dikeluarkan dari konsensi TPL dan kawasan Hutan Negara.
Namun perseteruan tetap berlanjut. TPL tetap menanami eucalyptus di wilayah kami. Mereka menebang pohon pinus, kemenyan dan pohon lainnya kemudian menggantinya dengan eucalyptus. Dalam sekejap hutan yang ditumbuhui beraneka ragam pepohonan berubah menjadi hutan ekaliptus. Kembali terjadi perlawanan dari masyarakat. Pada 2013, terjadi kembali penangkapan atas tiga puluh satu rekan kami. Begitu seterusnya, perlawanan demi perlawanan belum menemukan titik terang.  Hingga akhirnya aku melihat sosokmu di TV.
Hampir semua saluran televisi di Indonesia mengabarkan tentangmu, identitassmu, riwayat kepeminpinanmu, dll. Hampir semua masyarakat dari berbagai kalangan mendukungmu. Kau menjadi tranding topic bagi ibu-ibu di pasar, remaja-remaja di sekolah, anak-anak muda di kampus, bahkan bapak-bapak di lapo (warung). Kau adalah pahlawan di mata masyarakat.  Hingga akhirnya rakyat memilihmu menjadi presiden.
Benar sekali. Kau berbeda dari peminpin-peminpin sebelumnya. Setidaknya begitulah menurutku. Tahun kedua masa kepeminpinanmu, kau menerbitkan surat keputusaan pelepasan 5.172 hektare hutan adat dari konsesi TPL. Akhirnya kami bisa tenang mengelola tanah kami sendiri setelah puluhan tahun berjuang. Meskipun sebenarnya masih ada sekitar 93 hektare yang belum lepas dari konsesi. Aku tahu itu belakangan ini dari anakku yang gemar bersama teman-temannya mengenai hutan adat.
Namun ada yang janggal. Lagi-lagi aku tahu dari anakku yang suka berdiskusi itu. Januari lalu di tahun ini, anakku berdiskusi kembali dengan teman-temannya mengenai hak atas tanah adat. Sesampai di rumah, dia bercerita panjang lebar mengenai SK 8172. Apa pula SK 8172 ini?  SK 8172 adalah Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No. SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTH/PSL.1/12/2020 tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Haminjon. Pada surat keputusan itu kau  menyatakan bahwa hutan kami seluas 2.393,83 hektare yang terdiri dari 1.915,93 hektare sebagai kawasan Hutan Produksi Tetap, di luar areal dialokasikan untuk mendukung ketahanan pangan dan seluas 477,90 hektare sebagai area pegunungan lain dengan pembagian hutan sekunder seluas 47,3 hektare, serta semak belukar 430,6 hektare.
Tahukah kau? Sejak pohon eukaliptus tumbuh di wilayah adat kami, getah kemenyan tidak semelimpah dulu, kopi tidak sebanyak dulu, dan padi tidak sebagus dulu. Beberapa teman mengatakan saat mengobrol di lapo bahwa pohon eukaliptus adalah pohon yang boros menyerap nutrisi dari dalam tanah. Dulu, setiap mangaluak (panen getah kemenyan), aku membawa pulang empat bakul gota (getah) setiap minggunya. Hasil penjualan gota cukup aku gunakan untuk kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah anak-anak, membeli baju natal anak-anak, membeli pupuk untuk kopi dan sawah, dll. Bahkan, aku masih bisa menabung. Sekarang, jangankan menabung, kebutuhan di rumah asal tercukupi sudah syukur. Panen satu bakul gota per minggu pada musim panen sudah luar biasa buatku.
Hal yang sama juga terjadi pada musim kopi. Dulu, aku menyediakan satu ruangan khusus  untuk menampung hasil panen kopi. Ruangan itu selalu penuh. Meskipun waktu itu harga kopi tidak semahal sekarang, tetap lega rasanya melihat hasil perkebunan  sendiri melimpah. Aku bahkan bisa menyekolahkan anak pertamaku hingga ke perguruan tinggi dari hasil panen kopi. Dulu, aku pernah menjual kopi luak kurang lebih satu kaleng (sepuluh liter) per minggu pada musim panen. Aku mengirimnya ke Jakarta. Sekarang, kopi luak sudah tak ada lagi lantaran hewan luak sudah lama hilang. Kemana perginya mereka? Apa sebab luak tak pernah mampir lagi di kebunku?
Bagaimana nasib tanaman padi? Rupanya, campuran kimia pemupukan jutaan pohon eukaliptus yang ditanam di dolok (hulu) mengalir sampai ke toruan (hilir), ke sawah kami. Kondisi terburuk yang pernah kualami adalah gagal panen. Padi yang kutanam lapungon (menghasilkan gabah tanpa isi). Tidak semua padi gagal panen, tetapi panenan padi belakangan ini tidak sebanyak dulu. Dulu, aku tidak pernah membeli beras untuk dikonsumsi sehari-hari. Bahkan aku bisa menjual padi ke orang-orang yang tidak memiliki sawah. Sekarang, padi yang kupanen hanya cukup untuk persedian delapan bulan. Aduh, merugi kami sekampung karena eukaliptus kalian itu.
Kau sampaikan pula pada SK 8172 itu bahwa berdasarkan peta lampiran keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.307 tertanggal 28 Juli 2020, hutan seluas 2.051,22 hektare dialokasikan untuk mendukung ketahanan pangan. Apa? Ketahanan pangan? Kau sudah merusak ketahanan pangan di desa kami sejak TPL datang. Dulu kami tidak pernah beli beras. Sekarang kami harus berhutang untuk kebutuhan sehari-hari. Ketahanan pangan yang bagaimana maksudmu? Ketahanan pangan untuk siapa?
Berita tentang food estate cepat sampai ke telingaku. Barangkali karena pembukaan lahan besar-besaran untuk food estate di Ria-ria, desa tetangga kami. Lahan yang sebelumnya adalah hutan pinus, dalam sekejap berubah menjadi bentangan mulsa yang teramat luas, terlihat mengkilap seperti kaca. Sesekali ia terlihat silau apabila hari sedang cerah. Kalau tidak salah, kata Lae Hotang, salah satu petani di sana, April lalu adalah waktu panen kentang pertama. Beliau mengaku bahwa panen kentangnya sekarang tidak sehebat dulu. Katanya, kentang yang ditanam di lahan seluas empat rante (tidak mencapai satu hektare) dapat menghasilkan enam ton. Itu dulu, sebelum ada campur tangan pendamping dari program food estate yang kau utus untuk mendampingi petani. Sekarang, lahan seluas 2,8 hektare yang ditanami kentang, hasil panennya hanya bisa mencapai empat ton. Salah siapa ini? Entahlah. Setahuku, pendamping yang kau utus pastilah petani berpengalaman atau seorang berpendidikan minimal sarjana pertanian, atau memang kau tidak percaya lagi pada petani yang mampu mengolah lahannya sendiri.
Kata Lae Hotang, hasil panen kentang segera diangkut oleh PT Cham atas persetujuan Kelompok Usaha Bersama (KUB). Mereka menjual kentang ke PT. Cham seharga Rp 3.200,00 per kilogram. Uang hasil penjualan tidak langsung diterima oleh petani pada saat transaksi. Katanya, butuh proses untuk mencairkannya. Proses apa? Entahlah. Lae Hotang pun tidak tahu. Yang jelas dia tahu adalah uang hasil penjualan akan dia terima 60%, sementara 40% lainnya akan dialokasikan untuk modal penanaman berikutnya. Intinya, kentang yang ditanam petani di lahan sendiri akan diangkut ke kota. Perusahaan, dalam hal ini PT Cham dan Indofood, menentukan harganya. Apakah ini maksudmu ketahanan pangan? Ketahanan pangan untuk siapa?