Pukul empat pagi pelabuhan kecil itu hidup dengan deru-deru mesin kapal segera berlayar. Ia menggenggam erat tangan lembut itu seakan tak rela melepasnya.
"Ibu, jangan pergi."
"Hanya sementara, Nak. Saat pundi-pundi penuh, Ibu segera pulang."
Air mata berhamburan begitu saja. Jemari yang saling mengikat perlahan-lahan melepas. Dipadanginya kapal itu melaju semakin jauh. Sangat jauh. Sejauh rindu yang dipeliharanya untuk ibu.
Perlahan kapal itu menghilang. Ia putar balik. Ia menoleh sesekali ke belakang. Berharap mujizat datang, Ibu memanggil namanya kemudian memeluknya.
***
Satu tahun berlalu. Hari pertama Ia meyematkan seragam putih abu-abu. Kegaduhan pagi hari berlasung cukup lama. Adik-adik saling berebut tas merah jambu yang dikirim Ibu dua bulan yang lalu. Kegaduhan mengusik ketenangan Nenek yang sedang  menyiapkan sarapan.
"Aduh, kenapa setiap pagi kalian selalu ribut? Entah itu karena pensil, Â tas, buku, kaos kaki, kalian selalu ribut. Ibu kalian pun keterlaluan. Katanya sudah jadi direktur. Masa hanya mengirim satu tas? Pelit sekali."Â
Ia perhatikan keriput di kening hingga wajah Nenek semakin ramai. Bukan hanya karena termakan usia, melainkan karena kerap makan hati setiap pagi menanggapi kegaduhan rutin. Ia ingin sekali menengahi agar rutinitas itu cepat tuntas. Namun sepanjang Nenek berceloteh, Ia tidak berani mengutarakan apapun.
Ia memutuskan untuk meghindari kebisingan. Ia berangkat ke sekolah duluan. Sebelum berangkat, Ia singgah ke kamar Ayah untuk berpamitan.
"Ayah, Saya berangkat dulu."
Ayah tak menyahut. Â Ayah hanya melihatnya dengan matanya,tapi tidak dengan jiwanya.Â
Sudah satu tahun Ayah menghabiskan waktu di kamar hanya memandangi foto Ibu dan membisu. Selama itu Ayah merenung kepergian Ibu. Selama itu Ayah mendamba bayang-bayang Ibu yang tak dapat dipeluknya barang sedetik pun.
***
Lima tahun berlalu. Nenek masih wanita tua yang hobi berceloteh. Sekarang semakin meningkat. Nenek berbakat mendesak.
"Kapan kamu pulang? Apa kamu tidak kangen berkumpul bersama keluarga? Pokoknya kamu harus pulang!" tegas Nenek melalui telepon.
Ketika Ia sudah bisa hidup mandiri di rantau, Nenek tidak pernah meminta apapun darinya. Nenek hanya memintanya pulang setiap Natal. Â Ia mempertimbangkan desakan itu secara masak-masak. Ia niatkan untuk pulang tidak karena moment kumpul keluarga yang membahana tapi karena Nenek. Â Desakan seorang Ibu. Baginya, Nenek lebih dari seorang Ibu.
Setelah menempuh hampir tujuh jam perjalanan di dalam bus, akhirnya Ia sampai di rumah. Â Ia terdiam cukup lama sebelum melangkakan kaki ke teras rumah. Ia memandangi sosok wanita bertubuh sedang dengan rambut digerai menunggunya di teras rumah. Â Wanita itu jelas bukan Nenek. Wanita itu adalah Ibu. Ibu yang melepaskan jemarinya enam tahun lalu di subuh hari. Ibu yang menghiraukan air matanya yang tumpah pada pernyataan "Ibu, jangan pergi."
"Apa kabar, Nak?" Â ujar Ibu sambil mengulurkan tangan.
Ia lama tak menyambut uluran tangan itu. Kemudian Nenek muncul dan memerhatikan keduanya. Nenek memberi isyarat padanya supaya Ia ramah pada Ibu. Akhirnya, kedua telapak tangan itu bersatu seperti sepasang asing yang baru hendak memperkenalkan diri.
Kemudian Ibu menyarankan Ia untuk istirahat. Mungkin karena Ibu tahu Ia lelah atau tahu bahwa Ia tidak ingin berlama-lama berhadap-hadapan. Entahlah.
Pukul dua pagi, Ia terbangun. Ia keluar untuk mencari udara segar. Â Di teras, Ia melihat Ibu sedang bertelepon sambil mengisap rokok. Â Ia tidak sengaja mendengar percakapan Ibu: "Iya, Bang. Aku juga rindu abang. Bla..bla..bla..."
Ibu menyadari keberadaannya. Ibu segera mematikan handphone. Lama keheingan menguasai mereka berdua. Â Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
"Selamat Natal, Nak."
Ia masih terdiam. Dipandanginya Ibu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ada beberapa kerut di wajahya tapi masih terlihat sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Â
"Kenapa kamu diam nak?" tanya Ibu
Ia beranikan diri untuk mengutarakan pertanyaan yang sudah lama ingin Ia tanyakan.
"Kenapa Ibu pergi?"
Lama Ibu terdiam. Kemudian menjelaskan satu hal. Berharap anaknya itu bisa menerima.
"Ayahmu sangat mencintaiku. Aku malu tidak dapat membalas cintanya. Kesetiaannya itulah yang membuatku pergi. Kini, ayahmu sudah pergi. Belum sempat aku memeluknya. Aku bersalah telah meninggaalkan kalian. Sungguh perpisahan yang sia-sia. Aku bersedia kau tak memafkanku."
Ia sangat kuat. Tak dibiarkanya setetes pun air mata terjatuh di pelipisnya. Dengan melupakan segala luka, Ia berkata,
"Terima kasih sudah melahirkanku, Bu. Terima kasih telah mengajarkan banyak hal selama kepergianmu. Kini, aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu."
Lanjutnya lagi, "Selamat Natal, Bu"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H