Pukul dua pagi, Ia terbangun. Ia keluar untuk mencari udara segar. Â Di teras, Ia melihat Ibu sedang bertelepon sambil mengisap rokok. Â Ia tidak sengaja mendengar percakapan Ibu: "Iya, Bang. Aku juga rindu abang. Bla..bla..bla..."
Ibu menyadari keberadaannya. Ibu segera mematikan handphone. Lama keheingan menguasai mereka berdua. Â Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
"Selamat Natal, Nak."
Ia masih terdiam. Dipandanginya Ibu mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ada beberapa kerut di wajahya tapi masih terlihat sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Â
"Kenapa kamu diam nak?" tanya Ibu
Ia beranikan diri untuk mengutarakan pertanyaan yang sudah lama ingin Ia tanyakan.
"Kenapa Ibu pergi?"
Lama Ibu terdiam. Kemudian menjelaskan satu hal. Berharap anaknya itu bisa menerima.
"Ayahmu sangat mencintaiku. Aku malu tidak dapat membalas cintanya. Kesetiaannya itulah yang membuatku pergi. Kini, ayahmu sudah pergi. Belum sempat aku memeluknya. Aku bersalah telah meninggaalkan kalian. Sungguh perpisahan yang sia-sia. Aku bersedia kau tak memafkanku."
Ia sangat kuat. Tak dibiarkanya setetes pun air mata terjatuh di pelipisnya. Dengan melupakan segala luka, Ia berkata,
"Terima kasih sudah melahirkanku, Bu. Terima kasih telah mengajarkan banyak hal selama kepergianmu. Kini, aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu."