Mohon tunggu...
Rana Farrasati
Rana Farrasati Mohon Tunggu... Ilmuwan - Agriwatch - share knowledge and information about agriculture nowadays!

full time researcher, half time illustrator and musician.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Ayo Pantau Keberlanjutan Lahan Ex-Konversi Hutan Gambut (langkah preventif meredam laju deforestasi, melestarikan biodiversitas dan menjaga cadangan karbon)

16 Mei 2018   11:19 Diperbarui: 25 Mei 2018   21:04 1611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan dan Diskusi tentang pengelolaan gambut berkelanjutan dengan Global Peatlands (Sumber: goodnewsfromindonesia.id)

Komitmen serius pemerintah dalam menangani permasalahan tentang gambut ditunjukkan dengan berdirinya Badan Restorasi Gambut (BRG) serta diterbitkannya surat edaran No. 4252/14.3/IX/2016 tentang Larangan Pembukaan Baru atau Eksploitasi Lahan Gambut untuk Usaha Kehutanan dan Perkebunan pada September 2016 oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang Indonesia. Usaha dan konsistensi BRG serta masyarakat desa gambut dalam merestorasi gambut yang terdegradasi akibat deforestasi ataupun kebakaran gambut menuai penghargaan dan pengakuan dunia dari Paris CO21 dan United Nations Environment Programme (UNEP). Indonesia dinyatakan sebagai negara pertama yang berkomitmen penuh dan menunjukkan progres nyata dalam menurunkan emisi gas rumah kaca dan aksi adaptasi perubahan iklim hingga mencapai 1 giga ton. Selain menjadi anggota Global Peatlands Initiative (GPI) pada UNFCCC COP22 tahun 2016, Indonesia juga ditunjuk menjadi tuan rumah dalam forum diskusi GPI ke-2 di Riau dengan peserta dari berbagai negara di dunia.

Sejauh mana komitmen menjaga lahan dan hutan gambut? (Studi kasus: perkebunan kelapa sawit)

agr-5b08105ecaf7db0d1a4ffd93.png
agr-5b08105ecaf7db0d1a4ffd93.png
Luas areal perkebunan kelapa sawit  di Indonesia (Sumber: https://agroklimatologippks.files.wordpress.com)

  

Kelapa sawit juga turut dikembangkan dengan memanfaatkan tanah marginal seperti tanah gambut, dengan luasan 1,7 juta ha dari total luasan gambut tropis seluas 14,9 juta ha. Hingga saat ini, pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak lepas dari pro-kontra berbagai pihak. Kontroversi praktik pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit disinyalir berkaitan dengan tingginya laju deforestasi hutan primer, menurunnya biodiversitas, kebakaran hutan dan lahan gambut, kabut asap, emisi karbon dan perubahan iklim global. Namun kenyataannya, berdasarkan penelitian Austin et al (2017), ekspansi perkebunan kelapa sawit pertahun mencapai angka 450.000 ha, yang mana menghasilkan rerata deforestasi sebanyak 117.000 ha per tahun sejak tahun 1995 hingga 2015. Akan tetapi, laju deforestasi menurun sebanyak 36% pada tahun 2010-2015 dan relatif stabil sejak 13 tahun terakhir. RSPO (2011) menambahkan bahwa hanya 5,3% hutan primer di Indonesia yang di konversi menjadi perkebunan kelapa sawit, dimana 21% lainnya berasal dari shrubland dan selebihnya berasal dari pemanfaatan lahan terdegradasi dan lahan konversi. Dalam upaya menghadapi pro-kontra tersebut, pemerintah Indonesia berperan sebagai pengatur kebijakan green eco developmentalis, dimana hanya perkebunan kelapa sawit yang mengikuti rambu-rambu aturan yang tegas saja yang dapat mengembangkan lahannya.  


drainage-channel-main-5b0811a3dd0fa841b11bee23.jpg
drainage-channel-main-5b0811a3dd0fa841b11bee23.jpg
Kelapa sawit pada lahan gambut (Sumber: Institute on the Environment) 

Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dan RSPO merupakan perangkat hukum yang digunakan untuk memenuhi kebijakan guna menekan laju deforestasi dan pengelolaan yang berkelanjutan. Salah satu dari kriteria sertifikasi tersebut adalah melestarikan keanekaragaman hayati dimana setiap perusahaan atau pengelola sawit wajib memiliki dan menjaga keberlanjutan dari hutan konservasi dan hutan dengan stok karbon tinggi (High Conservation Value and High Carbon Stock Forest). Namun demikian, sertifikasi ISPO dan RSPO cenderung kurang efektif dalam menanggulangi praktik pengelolaan gambut yang kurang tepat dikarenakan implementasi yang tidak sesuai dan monitoring beberapa kawasan masih belum berkelanjutan. Selain itu, sertifikasi tersebut kebanyakan diterapkan oleh perusahaan besar, sedangkan perkebunan masyarakat kurang mengimplementasikan butir-butir peraturan tersebut karena keterbatasan SDM dan biaya. Carlson et al (2017) menambahkan saat proses sertifikasi berlangsung, perusahaan cenderung memiliki luasan hutan di sekitar perkebenunan yang rendah. Pada tahun 2015, area dengan sertifikasi RSPO hanya memiliki luasan hutan kurang dari 1%.

Tanaman kelapa sawit pada umumnya tidak se-membahayakan itu bagi lingkungan. Permasalahannya hanya terletak pada dimana tanaman tersebut di tanam. Oleh sebab itu, perlu adanya komitmen dan kebijakan yang serius dari pemerintah terhadap stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan kelapa sawit di gambut. Prof. Riset. Dr. Pratiwi (peneliti Hidrologi dan Konservasi Tanah) dan Dr. Made Hesti (peneliti silvikultur) menyatakan dalam upaya menurunkan laju deforestasi pada lahan dan hutan gambut memerlukan beberapa upaya yang berkelanjutan, diantaranya:

- pemetaan dan zonasi yang tepat dan sesuai dengan kesesuaian lahan (area konservasi, produksi, konsesi)

- perhatian khusus terhadap karateristik lahan gambut yang akan dibuka dan dikonversi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun