Selain itu, meskipun kondisi kemasaman tanah tinggi, keanekaragaman hayati yang tinggi tetap ditemukan pada lahan dan hutan gambut. Hutan gambut merupakan habitat dari berbagai spesies tanaman, hewan dan mikroba endemik yang dapat bertahan hidup di kondisi anaerob dan miskin hara (Yule, 2008). WWF dan LIPI (2007) melaporkan terdapat 808 spesies flora di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan dan 261 jenis flora di Taman Nasional Berbak, Jambi (Giesen, 1991).
Beberapa flora endemik pada hutan gambut memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan menguntungkan masyarakat lokal, seperti tanaman perepat (Combretocarpus rotundatus), bengeris (Kompassia malaccensis), dan jelutung rawa (Dyera costulata). Selain itu, WWF melaporkan, tercatat 34 spesies ikan, 35 spesies mamalia dan 150 spesies burung di hutan gambut. Lima spesies endemik hutan gambut yang dilindungi menurut IUCN Red diantaranya adalah harimau sumatera, beruang madu, langur, orang utan dan buaya sinyulong.
Ada apa dengan lahan dan hutan gambut?
Luasan lahan produktif bagi pengembangan pertanian yang kian menyusut, disusul populasi penduduk Indonesia yang meningkat pesat dan berbanding lurus dengan kebutuhan pangan serta infrastruktur menyebabkan alih guna lahan gambut marak terjadi. Pada umumnya, lahan dan hutan gambut kebanyakan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun hutan tanaman industry (HTI). Dari total lahan gambut di Indonesia, 875 ribu ha telah terbakar dan rusak (tidak dapat kembali ke sifat awal karena memiliki sifat hidrofobik) pada tahun 2015, 6,2 juta ha merupakan lahan gambut yang belum terusik, 2,8 juta ha merupakan kawasan kubah berkanal, dan 3,1 juta ha digunakan sebagai lahan budidaya. Miettinen et al (2011) menyatakan Indonesia kehilangan lahan dan hutan gambut 28% lebih rendah dari Malaysia dengan total luasan 2.199 m ha dalam kurun waktu 10 tahun (2000-2010).
Pada umumnya, lahan dan hutan gambut kebanyakan dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit ataupun hutan tanaman industry (HTI). Dari total lahan gambut di Indonesia, 875 ribu ha telah terbakar dan rusak (tidak dapat kembali ke sifat awal karena memiliki sifat hidrofobik) pada tahun 2015, 6,2 juta ha merupakan lahan gambut yang belum terusik, 2,8 juta ha merupakan kawasan kubah berkanal, dan 3,1 juta ha digunakan sebagai lahan budidaya.
Sejatinya, gambut dapat dimanfaatkan bagi kepentingan masyarakat apabila dikelola dengan tepat. Prof. Riset. Dr. Chairil Anwar Siregar sebagai salah satu narasumber dari diskusi ilmiah sekaligus peneliti hidrologi dan konservasi tanah Badan Litbang dan Inovasi di Bogor menyatakan “pengelolaan gambut yang berkelanjutan harus dipandang dari 5 hal ini: pengelolaan berbasis lanskap, pengelolaan lahan gambut, pengelolaan air, pengelolaan api, dan pengelolaan sosial-ekonomi”. Namun demikian, diperlukan komitmen serius dan berkelanjutan antara pihak terkait dan keseimbangan serta harmonisasi pemikiran kaum konservasionisme dan developmentalisme agar tujuan utama tercapai.