Saat ini terjadi gejolak di masyarakat akibat adanya draft revisi Undang-Undang no. 6 tahun 1983 yang telah diubah dengan UU no. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)  termasuk didalamnya terkait adanya kenaikan tarif PPN dan perluasan objek PPN dari sebelumnya tidak dikenakan PPN menjadi dikenakan PPN  untuk sembako dan jenis jasa lainnya yang dikenakan PPN. RUU KUP ini Penulis  kaji dari 2 sisi yaitu sisi masyarakat dan sisi pemerintah sebagai regulator.
Jika dilihat dari sisi masyarakat ditengah pandemic covid -19 yang belum berakhir maka tentunya sangat memahami dan berempati atas beban masyarakat yang sudah berat khususnya masyarakat kelas menengah kebawah. Masyarakat banyak yang panik akibat adanya isu dikenakannya PPN atas Sembako dan beberapa Jasa lainnya yaitu jasa pendidikan sampai jasa medic yang dulunya tidak dikenakan PPN.  Ketakutan masyarakat karena dengan disetujuinya RUU menjadi UU maka tidak lagi merasakan bebasnya PPN atas jasa-jasa tersebut dan barang -- barang yang dikonsumsi tersebut akan semakin mahal.
Menurut bank Dunia dalam laporannya berjudul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class menyebutkan dalam periode 15 tahun terakhir, Â angka kemiskinan Indonesia berkurang hingga dibawah 10%. Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang baru saja keluar dari garis kemiskinan sebanyak 45% atau 115 juta orang sedangkan jumlah populasi kelas menengah Indonesia naik dari 7% menjadi 20% atau sekitar 52juta orang. Kelas menengah di Indonesia akan menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia kedepan.
Masyarakat juga kawatir apalagi yang masuk dalam kelompok 115 juta sangat rentan kembali berubah ke garis kemiskinan jika PPN atas sembako dan jasa lainnya diberlakukan. Begitu juga dengan masyarakat kelas menengah akan merasa terganggu sebab beban pengeluaran akan semakin bertambah sedangkan pendapatan tidak berubah.
Jika dilihat dari masyarakat kelas menengah atas maka pemberlakuan PPN kedepannya tentu tidak menganggu dari segi cashflow mereka tetapi lebih kepada segi kenyamanan. Sekian puluh tahun level ini merasakan kenyamanan pembebasan PPN atas barang kena pajak (BKP) yang dikonsumsi dan jasa kena pajak (JKP) yang diterima dan bisa saja mereka malah mendapatkan keuntungan dari sektor-2 tersebut.
Jika dilihat dari geliat masyarakat yang berkembang saat ini maka merujuk teori hirarki kebutuhan yang sangat terkenal yaitu "A theory of Human"Â dari Abraham Maslow (1943) maka kebutuhan manusia itu terbagi 5 kebutuhan yaitu :
- Kebutuhan fisiologis
- Kebutuhan rasa aman
- Kebutuhan kepemilikan social
- Kebutuhan akan penghargaan diri
- Kebutuhan rasa aman
Merujuk ke kebutuhan teori ini maka wajarlah masyarakat mengeluh untuk level kelas menengah kebawah karena mereka memiliki motivasi yang kuat yaitu akan terganggunya kebutuhan level 1 dan 2 yang merupakan kebutuhan utama (primer dan sekunder). Tetapi kelas menengah ke atas mengeluh dengan motivasi yang sudah bukan pada level kebutuhan utama tapi pada tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi ( bisa dilevel 3 s/d 5). Inilah yang membedakan pro kontra yang terjadi di masyarakat.
Jika dilihat dari sudut persepsi Pemerintah sebagai regulator maka analisis penulis sebagai berikut:
Saat ini Pemulihan ekonomi Nasional untuk mengatasi pandemic covid-19 membutuhkan dana yang luar biasa. Menurut Kemenkeu dalam APBN 2021 maka Belanja Negara sebesar Rp. Â 2.750triliun sedangkan Pendapatan Negara 1.743triliun. Artinya Penerimaan Negara tidak seimbang dengan Pengeluaran (belanja) Negara sehingga ada defisit APBN 2021 sebesar 5.7%.
Melihat angka-angka APBN ini maka tentunya agar pemulihan ekonomi Negara tidak terganggu dan Negara tidak perlu melakukan opsi/pilihan menambah hutang maka tentunya Penerimaan Negara dalam negeri harus ditingkatkan. Negara butuh dana likuid untuk segera membiayai belanja Negara berupa belanja pemerintah pusat salah satunya membeli vaksin covid dan juga transfer ke daerah dan dana desa. Â
Ada 2 indikator yang perlu dilakukan pemerintah segera, jika hutang sudah bukan pilihan dan menerbitkan obligasi juga opsi terakhir maka melakukan efisiensi belanja Negara dan meningkatkan sumber pendapatan.
Pendapatan dari Pajak menyumbang kontribusi lebih dari 84% bagi penerimaan Negara. Jika dilihat dari laporan Ditjen Pajak tanggal 31 Desember 2020 sesuai grafik dibawah maka kontribusi PPN sebesar 41.91% sebagai berikut :
Untuk meningkatkan penerimaan Negara dimasa Pandemi Covid lewat sektor perpajakan maka instrument yang paling likuid adalah di instrumen PPN sehingga  perlu dilakukan perluasan basis pajak PPN. PPN adalah pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada setiap transaksi penyerahan. Dalam hal ini transaksi jual beli barang dan jasa. PPN ini dikenakan pada konsumen sebagai pengguna atau konsumen.
Asas PPN adalah asas keadilan sehingga skema single tarif selama ini masih kurang memenuhi rasa keadilan walaupun didukung oleh adanya insentif PPN dengan tarif 0% dan PPnBM. Â
Menurut Penulis maka PPN itu harus mempertimbangkan jenis produk dan jasa, harga serta kelompok sasaran yang mengkonsumsi. Ini hal-hal yang harus diperhatikan untuk mengkategorikan objek PPN dan tarif PPN. Â Dalam skema RUU di KUP dengan adanya kenaikan tarif PPN dengan skema multitarif dan objek PPN diperluas maka penulis sangat mendukung untuk memenuhi asas keadilan bagi masyarakat luas dan akan lebih tepat sasaran.
Skema multitarif PPN diyakini akan membuat barang-barang esensial yang dibutuhkan masyarakat dikenai pajak lebih murah sementara pajak atas barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas akan lebih mahal. Bisa saja PPN nantinya akan bervariasi dari 5% sampai dengan 12%.
Kenaikan tarif PPN dalam RUU merupakan cara pemerintah mengurangi distorsi dan menciptakan asas keadilan. Â Selama ini PPN banyak yang salah sasaran dan hal ini terus dikaji tentunya oleh Pemerintah seiring dengan kebutuhan penerimaan pajak yang urgent ditengah pandemic covid dan adanya defisit anggaran. Secara analogi selama ini perlakuan PPN sama seperti subsidi BBM yang akhirnya subsidi dihapus karena BBM yang disubsidi mencakup semua lapisan masyarakat baik lapisan atas maupun bawah.
Contohnya bahan-bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging kualitas premium yang dibeli oleh kelompok kalangan menengah ke atas dengan beras yang dijual di pasar traditional saat ini tidak dikenakan PPN. Semua lapisan masyarakat merasakan fasilitas non objek PPN tersebut.
Begitu juga dalam RUU KUP menghapus beberapa ketentuan  PPN untuk pasal 4A ayat 3 UU PPN yaitu  kelompok jasa  pendidikan, jasa pelayanan social, jasa kesehatan medik, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa penyiaran, jasa angkutan umum dan jasa tenaga kerja bukan lagi masuk kategori jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Jenis jasa-jasa tersebut menjadi objek PPN artinya jenis jasa tersebut nantinya akan dikenakan PPN.
Menurut penulis  jenis jasa - jasa tersebut dikenakan PPN dengan melihat bahwa saat ini, pendidikan, pelayanan medic, jasa pelayanan social dll lebih ke orientasi laba sehingga konsumen yang menggunakan jasa-2 tersebut tentunya harus membayar PPN atas jasa yang diterima.
Contoh praktisnya di jasa pendidikan yaitu mereka yang bersekolah di sekolah yang bertaraf International atau dengan sekolah swasta yang berbiaya tinggi, mungkin hanya bisa dijangkau kalangan menengah ke atas dengan masyarakat yang bersekolah di sekolah umum selama ini tidak dikenakan PPN tetapi dalam RUU KUP maka akan dikenakan PPN, tentunya berdasarkan asas keadilan dan tepat sasaran. Mungkin pengkategorian PPN dengan multitarif dan insentif PPN akan terus berlangsung untuk masyarakat golongan lapisan bawah. PPN kebutuhan pokok tentunya akan dipertimbangkan dengan tepat sasaran apakah bisa dikenakan tarif tertentu atau juga bisa dibebaskan. Kita tunggu saja kelanjutan RUU ini.
KesimpulannyaÂ
Kenaikan PPN dengan skema multitarif dan Perluasan basis PPN bagi konsumen dari yang tidak dikenakan PPN menjadi dikenakan PPN sudah wajar pasca  pandemic Covid yang jika di setujui akan mulai diberlakukan antara 2022 atau 2023. Jadi, jangan kita apriori dulu tetapi Pemerintah bertujuan menghilangkan fasilitas yang tidak efektif, mengurangi distorsi dan tentunya menerapkan "Asas Keadilan". Jika masyarakat tetap kontra maka ada jalur MK yang bisa ditempuh.
Efek multiplier atau efek berantai pastinya akan dirasakan oleh semua lapisan masyarakat dengan RUU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) ini. Pemerintah mendapat tambahan pemasukan dana dan masyarakat mendapatkan keuntungan secara tidak langsung. Tentunya Tata kelola yang baik atau Good corporate Governance harus lebih ditingkatkan agar Penerimaan dan belanja Negara dapat diawasi dan tepat sasaran.
Â
Terimakasih dan Salam NKRI
Jakarta, 13 Juni 2021
Penulis
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI