Mohon tunggu...
Agustina Mappadang
Agustina Mappadang Mohon Tunggu... Dosen - Assistant Professor, Practitioner and Tax Consultant

Dr. Agoestina Mappadang, SE., MM., BKP., WPPE, CT - Tax Consultant, Assistant Professor (Finance, Accounting and Tax)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masyarakat bergeliat Pro Kontra RUU: Tepatkah Pengenaan PPN Bagi Jasa Pendidikan Hingga Kesehatan dan Sembako?

13 Juni 2021   13:00 Diperbarui: 13 Juni 2021   14:14 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini terjadi gejolak di masyarakat akibat adanya draft revisi Undang-Undang no. 6 tahun 1983 yang telah diubah dengan UU no. 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)  termasuk didalamnya terkait adanya kenaikan tarif PPN dan perluasan objek PPN dari sebelumnya tidak dikenakan PPN menjadi dikenakan PPN  untuk sembako dan jenis jasa lainnya yang dikenakan PPN. RUU KUP ini Penulis  kaji dari 2 sisi yaitu sisi masyarakat dan sisi pemerintah sebagai regulator.

Jika dilihat dari sisi masyarakat ditengah pandemic covid -19 yang belum berakhir maka tentunya sangat memahami dan berempati atas beban masyarakat yang sudah berat khususnya masyarakat kelas menengah kebawah. Masyarakat banyak yang panik akibat adanya isu dikenakannya PPN atas Sembako dan beberapa Jasa lainnya yaitu jasa pendidikan sampai jasa medic yang dulunya tidak dikenakan PPN.  Ketakutan masyarakat karena dengan disetujuinya RUU menjadi UU maka tidak lagi merasakan bebasnya PPN atas jasa-jasa tersebut dan barang -- barang yang dikonsumsi tersebut akan semakin mahal.

Menurut bank Dunia dalam laporannya berjudul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class menyebutkan dalam periode 15 tahun terakhir,  angka kemiskinan Indonesia berkurang hingga dibawah 10%. Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang baru saja keluar dari garis kemiskinan sebanyak 45% atau 115 juta orang sedangkan jumlah populasi kelas menengah Indonesia naik dari 7% menjadi 20% atau sekitar 52juta orang. Kelas menengah di Indonesia akan menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia kedepan.

Masyarakat juga kawatir apalagi yang masuk dalam kelompok 115 juta sangat rentan kembali berubah ke garis kemiskinan jika PPN atas sembako dan jasa lainnya diberlakukan. Begitu juga dengan masyarakat kelas menengah akan merasa terganggu sebab beban pengeluaran akan semakin bertambah sedangkan pendapatan tidak berubah.

Jika dilihat dari masyarakat kelas menengah atas maka pemberlakuan PPN kedepannya tentu tidak menganggu dari segi cashflow mereka tetapi lebih kepada segi kenyamanan. Sekian puluh tahun level ini merasakan kenyamanan pembebasan PPN atas barang kena pajak (BKP) yang dikonsumsi dan jasa kena pajak (JKP) yang diterima dan bisa saja mereka malah mendapatkan keuntungan dari sektor-2 tersebut.

Jika dilihat dari geliat masyarakat yang berkembang saat ini maka merujuk teori hirarki kebutuhan yang sangat terkenal yaitu "A theory of Human" dari Abraham Maslow (1943) maka kebutuhan manusia itu terbagi 5 kebutuhan yaitu :

  • Kebutuhan fisiologis
  • Kebutuhan rasa aman
  • Kebutuhan kepemilikan social
  • Kebutuhan akan penghargaan diri
  • Kebutuhan rasa aman

Merujuk ke kebutuhan teori ini maka wajarlah masyarakat mengeluh untuk level kelas menengah kebawah karena mereka memiliki motivasi yang kuat yaitu akan terganggunya kebutuhan level 1 dan 2 yang merupakan kebutuhan utama (primer dan sekunder). Tetapi kelas menengah ke atas mengeluh dengan motivasi yang sudah bukan pada level kebutuhan utama tapi pada tingkatan kebutuhan yang lebih tinggi ( bisa dilevel 3 s/d 5). Inilah yang membedakan pro kontra yang terjadi di masyarakat.

Jika dilihat dari sudut persepsi Pemerintah sebagai regulator maka analisis penulis sebagai berikut:

Saat ini Pemulihan ekonomi Nasional untuk mengatasi pandemic covid-19 membutuhkan dana yang luar biasa. Menurut Kemenkeu dalam APBN 2021 maka Belanja Negara sebesar Rp.  2.750triliun sedangkan Pendapatan Negara 1.743triliun. Artinya Penerimaan Negara tidak seimbang dengan Pengeluaran (belanja) Negara sehingga ada defisit APBN 2021 sebesar 5.7%.

Melihat angka-angka APBN ini maka tentunya agar pemulihan ekonomi Negara tidak terganggu dan Negara tidak perlu melakukan opsi/pilihan menambah hutang maka tentunya Penerimaan Negara dalam negeri harus ditingkatkan. Negara butuh dana likuid untuk segera membiayai belanja Negara berupa belanja pemerintah pusat salah satunya membeli vaksin covid dan juga transfer ke daerah dan dana desa.  

Ada 2 indikator yang perlu dilakukan pemerintah segera, jika hutang sudah bukan pilihan dan menerbitkan obligasi juga opsi terakhir maka melakukan efisiensi belanja Negara dan meningkatkan sumber pendapatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun