Mohon tunggu...
Agustina Mappadang
Agustina Mappadang Mohon Tunggu... Dosen - Assistant Professor, Practitioner and Tax Consultant

Dr. Agoestina Mappadang, SE., MM., BKP., WPPE, CT - Tax Consultant, Assistant Professor (Finance, Accounting and Tax)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Masyarakat bergeliat Pro Kontra RUU: Tepatkah Pengenaan PPN Bagi Jasa Pendidikan Hingga Kesehatan dan Sembako?

13 Juni 2021   13:00 Diperbarui: 13 Juni 2021   14:14 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendapatan dari Pajak menyumbang kontribusi lebih dari 84% bagi penerimaan Negara. Jika dilihat dari laporan Ditjen Pajak tanggal 31 Desember 2020 sesuai grafik dibawah maka kontribusi PPN sebesar 41.91% sebagai berikut :

Untuk meningkatkan penerimaan Negara dimasa Pandemi Covid lewat sektor perpajakan maka instrument yang paling likuid adalah di instrumen PPN sehingga  perlu dilakukan perluasan basis pajak PPN. PPN adalah pajak pertambahan nilai yang dikenakan pada setiap transaksi penyerahan. Dalam hal ini transaksi jual beli barang dan jasa. PPN ini dikenakan pada konsumen sebagai pengguna atau konsumen.

Asas PPN adalah asas keadilan sehingga skema single tarif selama ini masih kurang memenuhi rasa keadilan walaupun didukung oleh adanya insentif PPN dengan tarif 0% dan PPnBM.  

Menurut Penulis maka PPN itu harus mempertimbangkan jenis produk dan jasa, harga serta kelompok sasaran yang mengkonsumsi. Ini hal-hal yang harus diperhatikan untuk mengkategorikan objek PPN dan tarif PPN.  Dalam skema RUU di KUP dengan adanya kenaikan tarif PPN dengan skema multitarif dan objek PPN diperluas maka penulis sangat mendukung untuk memenuhi asas keadilan bagi masyarakat luas dan akan lebih tepat sasaran.

Skema multitarif PPN diyakini akan membuat barang-barang esensial yang dibutuhkan masyarakat dikenai pajak lebih murah sementara pajak atas barang yang dikonsumsi masyarakat kelas atas akan lebih mahal. Bisa saja PPN nantinya akan bervariasi dari 5% sampai dengan 12%.

Kenaikan tarif PPN dalam RUU merupakan cara pemerintah mengurangi distorsi dan menciptakan asas keadilan.   Selama ini PPN banyak yang salah sasaran dan hal ini terus dikaji tentunya oleh Pemerintah seiring dengan kebutuhan penerimaan pajak yang urgent ditengah pandemic covid dan adanya defisit anggaran. Secara analogi selama ini perlakuan PPN sama seperti subsidi BBM yang akhirnya subsidi dihapus karena BBM yang disubsidi mencakup semua lapisan masyarakat baik lapisan atas maupun bawah.

Contohnya bahan-bahan kebutuhan pokok seperti beras, daging kualitas premium yang dibeli oleh kelompok kalangan menengah ke atas dengan beras yang dijual di pasar traditional saat ini tidak dikenakan PPN. Semua lapisan masyarakat merasakan fasilitas non objek PPN tersebut.

Begitu juga dalam RUU KUP menghapus beberapa ketentuan   PPN untuk pasal 4A ayat 3 UU PPN yaitu  kelompok jasa  pendidikan, jasa pelayanan social, jasa kesehatan medik, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa penyiaran, jasa angkutan umum dan jasa tenaga kerja bukan lagi masuk kategori jenis jasa yang tidak dikenai PPN. Jenis jasa-jasa tersebut menjadi objek PPN artinya jenis jasa tersebut nantinya akan dikenakan PPN.

Menurut penulis  jenis jasa - jasa tersebut dikenakan PPN dengan melihat bahwa saat ini, pendidikan, pelayanan medic, jasa pelayanan social dll lebih ke orientasi laba sehingga konsumen yang menggunakan jasa-2 tersebut tentunya harus membayar PPN atas jasa yang diterima.

Contoh praktisnya di jasa pendidikan yaitu mereka yang bersekolah di sekolah yang bertaraf International atau dengan sekolah swasta yang berbiaya tinggi, mungkin hanya bisa dijangkau kalangan menengah ke atas dengan masyarakat yang bersekolah di sekolah umum selama ini tidak dikenakan PPN tetapi dalam RUU KUP maka akan dikenakan PPN, tentunya berdasarkan asas keadilan dan tepat sasaran. Mungkin pengkategorian PPN dengan multitarif dan insentif PPN akan terus berlangsung untuk masyarakat golongan lapisan bawah. PPN kebutuhan pokok tentunya akan dipertimbangkan dengan tepat sasaran apakah bisa dikenakan tarif tertentu atau juga bisa dibebaskan. Kita tunggu saja kelanjutan RUU ini.

Kesimpulannya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun