Mohon tunggu...
Agus Sutikno
Agus Sutikno Mohon Tunggu... Koki - Belajar, belajar dan terus belajar.

Sederhana dan menghargai prosesnya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Si Toha

5 Januari 2020   06:31 Diperbarui: 5 Januari 2020   08:38 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yu Yarti nampak masih gelisah, kepanikannya tidak bisa disembunyikan lagi, walau Mas Miran (yang dipercaya di desa sebagai ahlinya syaraf papan atas di desanya), mengatakan kalau si Toha anak semata wayangnya baik-baik saja. Tulang-tulangnya masih berada pada porosnya, pun dengan otot otot syarafnya, tidak ada yang melenceng dari jalurnya. Si Toha hanya lecet lecet disekitar kaki dan tangan saja, kalaupun masih menangis lebih dikarenakan ekspresi Yu Yarti, ibunya yang terlalu berlebihan menyikapi Si Toha anaknya yang masih lima tahun, kesrempet sepeda onthel tetangganya, yang memang pagi itu kelihatan kemrungsung berangkat ke sekolah, (SMP).

Sama seperti Yu Yarti istrinya, Mas Naryo bapaknya pun masih kelihatan uring-uringan, walau anak Toha Haryanto sudah dinyatakan, clear, A1, tidak kenapa-kenapa. Selain luka ringan saja.

Sebegitulah sedikit gambaran perhatian dan cinta kasih kedua orangtua Si Toha. Anak tersayangnya Mas Naryo dan Yu Yarti. Di kala usia anaknya telah menginjak lima tahun tidak selincah anak anak yang lain yang seusianya. Si Toha menyandang distabilitas, salah satu kakinya saat berjalan sedikit diseret (dari lahir), serta mata yang juling. 

Tapi Mas Naryo dan Yu Yarti begitu greteh (telaten), gemati, juga sabar dalam mengasuh dan membesarkan Si Toha. Tetap bangga menceritakan kepintaran si Toha kepada tetangganya, ketika anaknya bisa melakukan aksi yang menurutnya lucu atau dianggapnya luar biasa. Walau sebenarnya apa yang dilakukan Si Toha itu sudah hal lazim dilakukan oleh anak yang masih seumuran dengan Si Toha.

Mas Naryo yang ahli bangunan, tak pernah sepi job, bapak si Toha ini selalu berangkat pagi pulang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Sedangkan istrinya, Yu Yarti, memang sudah tidak bekerja lagi, dia memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai karyawan di pabrik tekstil setelah mengetahui anaknya, si Toha memerlukan perhatian khusus, perkembangan mentalnya tidak seiring dengan bertambahnya umurnya.

Selain gangguan dengan cara berjalan, cara berbicara si Toha tidak jelas. Bisa dikatakan Si Toha menyandang tuna grahita atau mungkin lebih populer dengan sebutan autis.

Sampai Toha berumur 10 tahun, harmonisasi itu berjalan dengan baik tanpa ada halangan yang berarti. Mas Naryo bekerja, Yu Yarti mengurus si Toha anak, juga memenejement kebutuhan sehari harinya.

Sampai akhirnya di tahun 2009, pada suatu sore, sepulang kerja, Mas Narto  mengeluh sakit, seperti masuk angin, minta dikerokin, dan pamit tidur. Sampai tengah malam ketika Yu Yarti ingin membangunkan suaminya, untuk mengingatkan sholat Isya yang sudah terlambat ia tunaikan. Tubuh bapak si Toha dingin, kaku dengan tangan bersedekap. Mas Narto sebagai tulang punggung keluarga meninggal dunia.

Sepeninggal Mas Narto, Yu Yarti mesti menerima kenyataan, sosok laki laki yang tekun bekerja demi kebutuhannya juga sang anak telah tiada. Hidup terus berjalan, artinya Yu Yarti kini harus bekerja demi kebutuhan dan kebahagiaan anaknya, Si Toha.

Yu Yarti  bekerja apa saja, yang penting halal dan bisa setiap saat mengawasi anaknya, walau memang tidak sefokus ketika masih ada suaminya. Buruh nyuci, memijat atau kerokan khusus wanita dia kerjakan demi buah hatinya tercinta.

Tapi tidaklah lama, dua tahun kemudian, kanker payudara yang tidak dia rasakan, telah memasuki stadium lanjut, telah menggerogoti sel-sel tubuhnya. Pertengahan Juni 2012 Yu Yarti ibu dari si Toha, menyusul sang suami, meninggal dunia.

Si Toha yang autis, yang saat itu berumur 13 tahun tidak punya siapa siapa lagi. Tidak ada yang memandikannya setiap pagi dan sore hari, tidak ada yang menyiapkan makan atau menyuapi, ketika Si Toha lapar. Si Toha hidup sendiri. Mungkin ada perhatian dari keluarga besarnya, saudara saudaranya. Tapi bagaimanapun juga mereka juga punya urusan masing masing, punya kebutuhan sendiri sendiri. Apalagi Si Toha yang mulai susah untuk diatur.

Entah dari mana awal mulanya, Si Toha selepas subuh selalu berjalan keluar desanya, menelusuri jalan raya dan pulang menjelang Magrib. Membawa karung sak yang penuh dengan botol botol plastik. Begitu terus setiap hari, Si Toha tidak lagi seperti dulu ketika masih ada Yu Yarti ibunya, yang bersih terawat. Tubuh Si Toha sekarang hitam legam terbakar matahari.

Hampir tiga tahun sudah Si Toha melakukan hal yang selalu sama, pagi keluar rumah, sore pulang membawa satu sak botol botol plastik air mineral juga kemasan minuman apapun. Sampai akhirnya seluruh rumahnya dipenuhi botol botol bekas. Pintarnya Si Toha, botol botol itu selalu dicuci dan dikelompokan sesuai merk dan ukurannya terlebih dahulu sebelum disimpan didalam rumahnya.

Banyak yang menyarankan agar botol botol itu dijual. Tapi si Toha kekeh, untuk menyimpannya lebih lama lagi, mengumpulkannya lebih banyak lagi.
Sampai akhirnya pada suatu sore, beberapa bulan kemudian Si Toha pulang dengan diikuti mobil pick up. Dijuallah botol-botol yang sudah hampir tiga tahun dia kumpulkan. Mobil itu butuh tiga kali jalan untuk membawa semua botol botol itu dengan muatan penuh. 

.........

Kepada yang dituakan di desanya juga saudara saudaranya, Si Toha membawa mereka ke makam kedua orangtuanya, sambil menunjukkan batu nisan di sekitar makam. Dengan bicara yang terbata bata dan susah dimengerti, Si Toha menunjuk satu nisan dan menunjukkan semua uangnya (hasil penjualan botol botol tadi) di atas nisan itu.

Semua tertegun, terdiam, saling pandang, setelah bisa mengartikan apa yang dilihatnya, apa yang dimaksud si Toha. Siapa yang menyangka, hari itu, Si Toha yang punya banyak kekurangan itu, ternyata dari dulu mempunyai cita-cita mulia, membelikan batu nisan untuk kedua orangtuanya. Dan hari itu entah dia menghitung atau kebetulan saja, kurang beberapa hari menjelang 1000 harinya Yu Yarti ibunya.

Lintas Kali Pepe
Boyolali 06 Oktober 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun