Yuk, balik ke cerita masa lalu. Ternyata ada juga kegiatan positif. Misalnya, mengasah jiwa entrepreneur ala anak kampung. Saat itu, karena yang punya televisi dan video---untuk nonton film kartun dan action anak-anak---masih sangat jarang, mereka jualan "tiket". Uniknya, tiket ini dibayar dengan berburu ciplukan, semacam tanaman bauh ceri di sawah. Atau dibayar pakai buah talok alias kersen. Buah yang kini makin jarang itu biasanya diburu di pinggir jalan atau pematang sawah. Susah-susah gampang karena kadang jadi rebutan. Kadang, saking pengennya nonton film, anak yang tak kebagian buah buat bayar, rela tukar barang. Misalnya kelereng atau gundu. Tawar-menawar pun terjadi. Gayeng. Kadang gontok-gontokan. Rebutan buah pun terjadi akibat merasa kelereng yang dimiliki lebih mahal harganya dari buah yang jadi objek pertukaran.Â
Makin besar, kegiatan selepas sahur makin bergeser. Apalagi dengan dominasi acara televisi. Makin jarang yang terlihat bermain bersama. Apalagi kalau sudah masuk zaman gadget. Semua terpaku pada gawai masing-masing. Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Bayangkan, game seperti mobile legend mampu membuat anak-anak dan remaja terpaku pada benda seukuran kartu remi itu. Nonton film ramai-ramai berbayar buah ciplukan atau talok kini sudah berubah ke nonton Youtube masing-masing.Â
Kalau sudah begini, kok tiba-tiba merasa ada yang berbisik... piyeee, isih penak sahur zamanku to? Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H