Mengenang masa kecil itu memang kadang menyenangkan. Lucu, menggemaskan, tapi kadang sering juga---memunculkan pertanyaan, kok bisa?
Itulah obrolan reunian saat jelang berbuka di sebuah warung. Masing-masing berkisah, bagaimana masa kecilnya. Apalagi saat momen puasa. Biasanya, sebagai anak kampung, sehabis sahur, selalu saja ada kegiatan yang kadang---pakai bahasa saat ini---di luar nurul alias susah difikri.Â
Betapa tidak. Kenakalan zaman dulu itu sering kali memang tidak bisa dilepaskan dari keisengan yang aneh-aneh. Apalagi, saat itu belum muncul gadget. Paling gadget yang dijadikan andalan adalah gundu alias kelereng, tongkat benthik, hingga ketapel.Â
"Kowe eling ora? Biyen bar sahur golek jambu tetanggamu?"
Habis jalan-jalan pulang dari masjid selepas subuh, bukannya langsung ke rumah, tapi cari sasaran jambu tetangga.Â
Ada yang lebih ekstrem lagi. Di sawah, sering ada kolam ikan peliharaan. Kolamnya besar. Ikannya banyak. Dengan sistem pengairan saat itu, tiap petak ada lobang untuk mengalirkan air dari kolam atas ke kolam bawah. Nah, biasanya ada saja yang iseng melepas tutup aliran air itu. Lalu, tinggal menampung ikan yang terbawa arus ke bawah.Â
"Mayaaan... nggo lawuh pas buko...!
Tapi, kejadian yang paling menggelikan namun sekaligus menjijikkan terjadi saat sedang musim perang mercon.Â
"Hayooo, inget nggak? Dulu kalau ketemu tahi sapi atau kerbau, kita taruh mercon di atasnya..."
"Dhuaaarrr.... Plenyikkk..." Tahi basah alias tlethong itu pun beterbangan ke mana-mana.Â
Memang, kegiatan sehabis sahur zaman dulu beda dengan sekarang. Dulu, untuk mencari hiburan, banyak kegiatan nyeleneh semacam perang "tlethong" tadi. Menjijikkan memang. Tapi namanya anak-anak, makin dimarahi, makin menjadi. Bisa jadi kalau sekarang bisa kena pasal... hehehe. Tapi dipikir-pikir, kok lebih menjijikkan yang mainan pasal di MK ya? Ups.. kok malah ke sono lagi sih...
Yuk, balik ke cerita masa lalu. Ternyata ada juga kegiatan positif. Misalnya, mengasah jiwa entrepreneur ala anak kampung. Saat itu, karena yang punya televisi dan video---untuk nonton film kartun dan action anak-anak---masih sangat jarang, mereka jualan "tiket". Uniknya, tiket ini dibayar dengan berburu ciplukan, semacam tanaman bauh ceri di sawah. Atau dibayar pakai buah talok alias kersen. Buah yang kini makin jarang itu biasanya diburu di pinggir jalan atau pematang sawah. Susah-susah gampang karena kadang jadi rebutan. Kadang, saking pengennya nonton film, anak yang tak kebagian buah buat bayar, rela tukar barang. Misalnya kelereng atau gundu. Tawar-menawar pun terjadi. Gayeng. Kadang gontok-gontokan. Rebutan buah pun terjadi akibat merasa kelereng yang dimiliki lebih mahal harganya dari buah yang jadi objek pertukaran.Â
Makin besar, kegiatan selepas sahur makin bergeser. Apalagi dengan dominasi acara televisi. Makin jarang yang terlihat bermain bersama. Apalagi kalau sudah masuk zaman gadget. Semua terpaku pada gawai masing-masing. Menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Bayangkan, game seperti mobile legend mampu membuat anak-anak dan remaja terpaku pada benda seukuran kartu remi itu. Nonton film ramai-ramai berbayar buah ciplukan atau talok kini sudah berubah ke nonton Youtube masing-masing.Â
Kalau sudah begini, kok tiba-tiba merasa ada yang berbisik... piyeee, isih penak sahur zamanku to? Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H