Kemenangan Donald Trump tidak banyak diprediksi banyak orang. Malahan, yang berhasil memprediksi dengan tepat adalah kisah kartun ternama Amerika the Simpson, itu pun di tahun 2005! Banyak teori konspirasi lalu menyebutkan kalau kartun yang terkesan nyentrik itu komikusnya punya pintu waktu ke masa depan.
Ini memang mengejutkan. Setelah cukup lama selalu berada dalam daftar yang selalu kalah dalam jajak pendapat, Donald Trump malah unggul dibanding Hillary Clinton. Dunia pun bereaksi dengan aneka tanggapan. Ada yang menganalisis inilah bakal kemunduran Amerika karena Trump akan memproteksi ekonominya. Ada yang menyebut ini akan jadi guncangan ekonomi karena China akan kehilangan pasar utamanya. Indonesia? Hmm… bisa ditebak, para ahli punya pendapat kalau Indonesia akan jadi korban domino effect. Saat China dibatasi pasarnya ke Amerika—di mana selama ini ekspornya di AS sangat besar—maka China akan mencari saluran baru. Dan salah satunya, negeri konsumtif dengan penduduk terbesar keempat adalah Indonesia! Itu kata ahli, itu kata yang jago prediksi. Meski sudah terbukti, yang jago prediksi di pemilu AS saja ternyata kini tak bisa lagi pasang aksi, wong prediksinya nggak terbukti.
Itulah kenapa saya tidak akan membahas soal domino effect. Saya justru punya wacana dengan apa yang saya sebut sebagai trampolin effect. Karena ada Trump, muncullah Trampolin effect. Apa itu?
Tahu trampolin kan? Ya, itu semacam alat olahraga atau kegiatan luar ruang di berbagai tempat mainan. Orang bisa lompat tinggi dan kembali jatuh, membal, memantul, naik lagi. Begitu seterusnya sampai ia berhenti menghentakkan tubuhnya ke alat trampolin. Intinya, tanpa ada kejatuhan ke bawah, tak akan ada pantulan ke atas. Makin kuat menghunjamkan tubuh ke bawah, makin melanting pula seseorang ke atas.
Nah, trampolin effect ini sebenarnya sudah terjadi, akan terjadi, dan terus terjadi. Termasuk saat ada Trump yang terpilih jadi presiden di negeri adidaya tadi. Guncangan ekonomi apa pun hebatnya, akan “dipantulkan” dengan reaksi ke atas seperti trampolin yang mengangkat orang melanting balik. Artinya, seterguncang apa pun ekonomi nantinya akibat kebijakan baru Trump, pasti akan ada efek balik ke atas lagi. Tapi lalu muncul pertanyaan, bukankah trampolin sehabis naik pasti turun lagi? Yup, betul. Justru di sinilah “seni”-nya. Sadarkah Anda kalau trampolin yang sudah balik lagi ke bentuk semula itu sebenarnya sedang menemukan titik keseimbangannya? Artinya, saat semua sudah jumpalitan, turun, naik, turun lagi, naik lagi, semua akan kembali ke nilai keseimbangannya.
Di sinilah reaksi positif kita diperlukan. Saat berada di level bawah, kalau terus merasa terpuruk, maka trampolin akan keberatan beban dan jebol. Akibatnya benjol. Orang akan jatuh dan bahkan tak bisa melanting lagi. Tapi kalau ia sadar bahwa di bawah itulah saat ia akan segera melanting tinggi, di sinilah ia akan jadi “pemenang” sejati.
Bagaimana caranya? Mari kita coba lihat potensi negeri Indonesia yang sangat kaya ini. Saat Trump nanti benar-benar menutup ekonominya untuk pasar kita dan produk China makin menyerbu Indonesia, mengapa kita tidak coba kembali ke Ibu Pertiwi? Mengapa kita tidak coba menghitung kembali kekuatan kita sebagai bangsa yang mandiri?
Tanam Sendiri, Trump-il Mandiri
Ya, sebenarnya Trump mengajarkan kemandirian. Ia mau menutup AS dari serbuan China itu sepertinya ia sedang menyadarkan kalau AS juga masih jadi adikuasa. Dan Indonesia pun bisa.
Saya ingat bertahun silam. Dulu kalau mau makan ayam, keluarga kami akan menyembelih ayam kampung yang kami pelihara di belakang rumah. Awalnya dari satu ayam betina, lalu dibiarkan berkeliaran, tiba-tiba ketemu pejantan ayam tetangga lalu bertelur, jadi berkembang ayam lain, begitu seterusnya. Satu ayam jadi banyak. Saat hajatan, tak jarang kami menyumbang ayam ke tetangga. Begitu juga sebaliknya. Itu kalau sedang ingin makan daging.
Bagaimana dengan beras? Ada tetangga yang punya sawah. Tiap panen raya, ia sedikit membagi rezekinya dengan tetangga. Sisanya ia jual, itu pun tidak dengan harga selangit seperti sekarang saat semua makin banyak dikuasai tengkulak.
Ingin menggoreng? Beberapa rumah ada pohon kelapa yang siap petik. Dari kelapa itulah kami sering kali membuat minyak goreng sendiri. Ampas kelapa diproses, minyaknya disaring, lalu ampasnya jadi areh, yang sekarang sering jadi bumbu tambahan untuk gudeg.
Butuh cabai, bawang merah, bawang putih, bumbu dapur, garam, gula? Hmm… sering kali kami saling memberi antar-tetangga karena kami saling menanam mandiri beberapa tanaman tadi. Kalau pun tidak ada, membeli di warung terdekat pun harganya sangat terjangkau. Sebab, hampir semua dijual tanpa melibatkan tengkulak yang memperpanjang rantai jual beli. Butuh apa-apa, tanam sendiri, “Trump”-il (baca: terampil) mandiri.
Mengingat masa itu, saya jadi sadar, betapa kita sangat kaya. Semua mudah didapat, asal mau saling kerja sama. Tapi itu dulu!!! Itu komentar orang yang saya ceritakan tentang hal ini.
Di sinilah yang saya sebut Trampolin Effect itu seharusnya (baca: sudah waktunya) membuat kita sadar kembali. Kita sudah sebaiknya kembali menggunakan produk-produk lokal dalam negeri. Banyak sekali produk asli Pertiwi yang juga berkualitas. Pun kalau masih belum dianggap sebaik produk asing, membeli ke produk sendiri akan menumbuhkan kesejahteraan negeri.
Mari kita coba berhitung dari hal yang paling sering kita beli. Sembako, kebutuhan sehari-hari, hingga kebutuhan sampingan seperti hiburan.
Beras, yang produk lokal masih banyak kita jumpai. Gula? Ini juga banyak yang asli dalam negeri. Sabun, shampo, alat mandi? Sekarang mulai banyak produk lokal seperti produk dari Mustika Ratu, Sariayu, hingga merek tradisional yang belum sempat terkenal. Hiburan? Kenapa tidak coba liburan ke dalam negeri? Mahal sedikit, tapi uangnya masuk untuk pengusaha dalam negeri. Baju, sepatu, atau pernik lainnya, sadarilah bahwa sudah banyak merek lokal yang berkualitas internasional.
Penduduk Indonesia saat ini sekitar 250 juta jiwa. Sebut saja yang usia produktif dan mampu belanja sekitar 30%-nya, atau sekitar 75 jutaan. Kalau masing-masing mampu (baca: MAU) belanja produk dalam negeri Rp400 ribu sebulan atau Rp100 ribu per minggu, artinya perputaran produk dalam negeri menghasilkan pendapatan kotor Rp400 ribu x 75 juta = Rp30 triliun per bulan atau sekitar Rp360 triliun setahun!!! Dan hebatnya, uang itu terus bisa berputar untuk membangun kita sendiri, bukan mengalir ke luar negeri! Itu baru Rp400 ribu sebulan per orang produktif. Bagaimana kalau pelan-pelan dinaikkan ke angka lebih besar. Lalu, jika UMR Rp3 juta, misalnya sampai 50% saja konsumsi untuk produk dalam negeri asli, jumlah uang yang berputar bisa Rp1,5 juta x 75 juta x 12 bulan = Rp1350 triliun atau separuh lebih APBN kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H