Suatu siang yang terik, bunyi faksimili di kantor berdering. Sebuah kertas keluar. Tercetak rapi barisan huruf di kertas putih itu. Tulisan tangan, tidak diketik. Hurufnya bersambung khas orangtua zaman dulu. Cerita di selembar kertas itu tiba-tiba membuat cairan hangat dari sudut mata tak terasa membasahi pipi.
Pengirim tulisan itu seorang ibu-ibu. Ia menuliskan, sekitar dua tahun silam dirinya menelepon seseorang. Kala itu ia mengaku sedang kebingungan. Suaminya meninggal mendadak. Sementara harta peninggalan suami tak seberapa. Dengan dua anak yang masih perlu biaya sekolah besar, ia tak tahu bagaimana harus melanjutkan hidupnya.
Dalam masa kebingungan itu, si ibu menemukan sebuah nomor telepon di sebuah buku dan segera menghubungi nomor tersebut. Ia lalu mengatakan, dari orang yang ditelepon itulah, ia mendapatkan sedikit pencerahan. Si lawan bicara ibu tadi katanya menasihatkan untuk mencoba membuka usaha apa saja yang ibu bisa. Dan saat itu si ibu mengatakan hanya bisa memasak dan membuat roti rumahan.
Dengan pasrah karena tak tahu awalnya harus bagaimana, si ibu tadi menurut saja. Ia lalu membuat roti-roti kecil yang dititipkan ke warung-warung di sekitarnya. Dan dengan nasihat lainnya, si ibu tadi mengaku diminta untuk memberi merek pada roti yang dijualnya. Ia lalu menjalaninya dengan konsisten dan penuh ketekunan. Semata, ia mengaku memang karena tak ada pilihan lain. Hanya itu yang sementara bisa dilakukanya.
Dari kisah si ibu, ia lalu mulai sering mendapat pesanan aneka macam roti. Membuat roti dari hanya modal satu oven bekas, lalu tambah satu oven baru. Kemudian berkembang jadi beberapa oven, dan akhirnya terus menambah oven besar. Akhirnya ia dibantu tetangga yang pengangguran. Lalu, dari satu penganggur, bertambah beberapa lagi, hingga ia punya beberapa karyawan.
Si ibu yang tadinya kebingungan berubah mendapatkan kelimpahan. Dari yang sempat khawatir dengan masa depan, lalu terpaksa menjalani satu-satunya yang ia merasa bisa, akhirnya sekeluarga terselamatkan. Anak-anaknya bisa sekolah dengan baik. Kehidupannya juga berjalan melebihi yang dia perkirakan.
Di surat tertulis tangan dan dia kirim via faksimili itu si ibu tadi berucap, kalau tidak menemukan buku 100 Peluang Usaha UMKM dan memberanikan diri menelepon kontak di buku itu, ia merasa nasibnya mungkin bisa berbeda. Untuk itulah si ibu tadi mengirimkan tulisan tangan yang dikirim faksimili. Si ibu mengaku tak bisa mainan internet dan tak kenal email. Yang jelas ia mengatakan tak ingin berlama-lama kirim surat pakai perangko via pos karena merasa harus segera berterima kasih pada sosok yang pernah diteleponnya itu.
Maka, ketika tiba-tiba ada banyak orang dari Sorong Papua, Soppeng Sulawesi, Pangkal Pinang Sumatera, hingga Taiwan dan juga Hongkong menghubungi, saya pun terkejut. Tak tahu bagaimana buku tadi bisa sampai ke mereka. Beberapa bahkan tak pernah saya kenal nama daerahnya karena jarang sekali disebut di media massa. Mereka banyak yang bertanya tips usaha lebih lanjut, sekadar curhat masalah usaha, atau juga mengundang untuk mengisi seminar kewirausahaan. Inilah kekuatan sebuah buku.
Mungkin kini zamannya sudah berbeda. Semua bisa disebarluaskan melalui media sosial dengan cepat. Bahkan sering kali muncul selebritas instan yang langsung mencuat. Berbagai solusi, inspirasi, wejangan, muncul disebar dengan sangat cepat. Buku pun dianggap sebagai benda usang yang siap dimakan zaman. Bahkan ada yang sempat meramal, sejarah buku dan media berbasis cetak akan segera tamat.
Inikah tanda era buku akan hilang dari peredaran dan berganti jadi buku elektronik? Dalam berbagai forum dan aneka acara, jawaban dari pertanyaan ini segera muncul.
Setiap kali berkenalan dengan orang baru dan memberikan “kartu nama” berupa buku cetak, tiba-tiba kekakuan segera cair. Perbincangan tentang buku yang ditulis segera jadi materi padat berisi. Lebih mudah akrab tanpa disadari. Dan satu lagi, orang yang membuat dan menulis buku dianggap punya VALUE alias NILAI lebih. Coba iseng bandingkan dengan membuat puluhan bahkan ratusan status yang diunggah di media sosial. Hampir bisa dipastikan, buku dalam bentuk fisik akan dianggap lebih punya nilai. Tak jarang, orang langsung dianggap ahli atau jago kalau sudah menulis buku. Sebab katanya, kalau hanya di media sosial, orang tinggal copy paste saja. Sementara buku, selalu melibatkan waktu, tenaga, dan pikiran yang luar biasa.
Mungkin zaman akan terus berubah. Bisa jadi buku juga akan tinggal sejarah. Tapi untuk VALUE dari buku, saya rasa akan bisa melintas batas ruang dan waktu. Bisa jadi, buku ringan yang Anda tuliskan, bisa membawa banyak perubahan seperti kisah nyata ibu yang mengaku hidupnya terselamatkan. Bisa jadi dari satu karya buku yang dihasilkan, mungkin saja ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang tercerahkan. Maka saya pun sangat setuju dengan sebuah anjuran, minimal menulislah satu buku sebelum datang ajalmu. Seperti juga ungkapan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Jadi, sudahkah Anda punya minimal SATU BUKU untuk diwariskan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H