Setiap kali berkenalan dengan orang baru dan memberikan “kartu nama” berupa buku cetak, tiba-tiba kekakuan segera cair. Perbincangan tentang buku yang ditulis segera jadi materi padat berisi. Lebih mudah akrab tanpa disadari. Dan satu lagi, orang yang membuat dan menulis buku dianggap punya VALUE alias NILAI lebih. Coba iseng bandingkan dengan membuat puluhan bahkan ratusan status yang diunggah di media sosial. Hampir bisa dipastikan, buku dalam bentuk fisik akan dianggap lebih punya nilai. Tak jarang, orang langsung dianggap ahli atau jago kalau sudah menulis buku. Sebab katanya, kalau hanya di media sosial, orang tinggal copy paste saja. Sementara buku, selalu melibatkan waktu, tenaga, dan pikiran yang luar biasa.
Mungkin zaman akan terus berubah. Bisa jadi buku juga akan tinggal sejarah. Tapi untuk VALUE dari buku, saya rasa akan bisa melintas batas ruang dan waktu. Bisa jadi, buku ringan yang Anda tuliskan, bisa membawa banyak perubahan seperti kisah nyata ibu yang mengaku hidupnya terselamatkan. Bisa jadi dari satu karya buku yang dihasilkan, mungkin saja ada ratusan, ribuan, bahkan jutaan orang tercerahkan. Maka saya pun sangat setuju dengan sebuah anjuran, minimal menulislah satu buku sebelum datang ajalmu. Seperti juga ungkapan sastrawan Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Jadi, sudahkah Anda punya minimal SATU BUKU untuk diwariskan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H