Mohon tunggu...
Agnes Rohimiyah
Agnes Rohimiyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam

Mahasiswa yang aktif menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Regionalisme, Historiografi, dan Pemetaan Wilayah di Sumatera Barat Tahun 1950-An (Gusti Asnan)

24 Desember 2023   19:55 Diperbarui: 24 Desember 2023   19:59 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sumatera Barat Perspektif Administratif

Sejarah Sumatera Barat pada tahun 1950-an mencatat perjuangan untuk otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan. Perjuangan ini melibatkan politisi, militer, dan non-politisi melalui penulisan ulang sejarah dan pemetaan wilayah. Sumatera Barat telah mengalami berbagai perubahan administratif sejak zaman VOC hingga menjadi provinsi Sumatera Barat seperti sekarang. Perjuangan untuk meminangkabaukan Sumatera Barat juga terjadi dalam pembagian administratif yang mengacu pada pembagian tradisional daerah budaya Minangkabau.

Sumatera Barat saat ini merupakan provinsi setingkat administratif yang memiliki akar sejarah pada masa VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) yang merupakan sebuah perusahaan dagang. Nama "hoofdcomptoir van Sumatra's Westkust" pertama kali digunakan oleh VOC untuk menyebut salah satu daerah administratif di kawasan pesisir barat Sumatera. Setelah pemerintahan Belanda mengambil alih Sumatera Barat pada tahun 1819, terkait dengan Konvensi London 1814, terjadi perubahan signifikan dalam administrasi dan penguasaan wilayah.

James Du Puy, komisaris pemerintah Hindia Belanda di Padang sejak tahun 1818, memahami pentingnya daerah pedalaman bagi penguasaan wilayah pesisir. Dengan dukungan Sultan Alam Bagagar Syah, Belanda berhasil mengambil alih Kerajaan Minangkabau dan memulai kampanye militer serta penetrasi politik. Residentie Padang en Onderhorigheden dibentuk sebagai unit administratif baru, tetapi setelah berhasil mengalahkan kaum Paderi, status administratifnya diubah menjadi Gouvernement dengan nama baru, Gouvernement Sumatra's Westkust.

Pada tahun 1905, Tapanuli dipisahkan dari Gouvernement Sumatra's Westkust, dan Sumatera Barat tetap sebagai sebuah Gouvernement hingga 1914. Setelah itu, statusnya menurun menjadi Residentie dengan nama Residentie Sumatra's Westkust. Saat Jepang berkuasa, namanya berubah menjadi Sumatora Nishi Kaigan Shu, dan setelah kemerdekaan Indonesia, Sumatera Barat menjadi keresidenan dalam Provinsi Sumatera Tengah. Pada tahun 1957, melalui Perpu No. 19/1957, Sumatera Barat menjadi provinsi terpisah dan struktur administratif hasil dari pembagian ini masih berlaku hingga sekarang.

Meminangkabaukan Sumatera Barat

Pembentukan Residentie Padang en Onderhorigheden awalnya ditujukan untuk daerah budaya Minangkabau, membagi wilayah administratif menjadi District Padang dan District Minangkabau. Pada tahun 1825, terjadi perubahan menjadi Afdeling Padangsche Benedenlanden dan Afdeling Padangsche Bovenlanden, mencerminkan pembagian tradisional daerah Minangkabau menjadi rantau (rantau pesisir) dan darek (luhak nan tigo). Meskipun kemudian menjadi Gouvernement Sumatra's Westkust, perbedaan antara daerah Minangkabau dan non-Minangkabau tetap dijaga dengan Residentie Padangsche Benedenlanden, Residentie Padangsche Bovenlanden, dan Residentie Tapanoeli. Pembagian administratif tersebut mencerminkan pemisahan etnis Minangkabau dan Batak.

Identifikasi Gouvernement Sumatra's Westkust dengan daerah Minangkabau pada tahun 1905 disambut baik oleh penghulu Minangkabau sebagai perwujudan Minangkabau Raya di bawah naungan Raja Belanda. Dukungan ini terkait dengan reaksi terhadap kemenangan Jepang melawan Rusia dan politik dunia saat itu. Pertumbuhan hubungan antara kaum adat dan pemerintah Hindia Belanda terjadi sejak permintaan bantuan untuk menghancurkan kaum Paderi pada tahun 1821. Kerjasama ini tumbuh melalui pemberian kemudahan pada kaum adat dan penyerahan jabatan pemerintahan kepada mereka. Kaum adat juga aktif merespon peluang pendidikan formal Barat dan mendominasi jabatan dalam pemerintahan kolonial.

Pada tahun 1918, Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Barat tidak dinamai Dewan Sumatera Barat tetapi Dewan Minangkabau. Kaum adat menolak rencana penggabungan Sumatera Barat dengan Tapanuli pada 1920-an dan menerbitkan karya-karya tentang sejarah Minangkabau. Identifikasi dengan daerah budaya Minangkabau diperkuat oleh tambo Minangkabau dan temuan monografi nagari dan desa pada akhir 1920-an.

Meskipun Jepang mengubah administrasi Sumatera Barat dan mengeluarkan daerah Bangkinang, penduduk Sumatera Barat menyambutnya dengan sikap pasif karena atmosfer represif Jepang. Sejak zaman Jepang, teritori administratif Sumatera Barat semakin berkurang, menunjukkan pengakuan terhadap daerah budaya Minangkabau semakin menyusut.

Perkembangan Politik Tahun 1950-an: Sejarah Baru dan Peta Baru

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun