Mohon tunggu...
Agnes Rendaningtyas
Agnes Rendaningtyas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Brawijaya

Saya suka membaca berita dan artikel yang memuat topik kesehatan dan kesehatan mental. Saya juga suka membaca fakta-fakta menarik tentang dunia, seperti keajaiban dunia, penemuan-penemuan, dan perkembangan dunia ilmiah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ketagihan Scrolling TikTok? Ternyata Ini Penyebabnya!

5 Desember 2024   15:40 Diperbarui: 5 Desember 2024   16:03 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aplikasi TikTok (sumber: Freepik)

@YourFriend shared a video

Notifikasi yang saya terima dari aplikasi TikTok tersebut membuat saya reflek meng-klik untuk melihat video apa yang teman saya kirim. Saya yakin bukan hanya saya saja yang  menerima notifikasi seperti itu. Sudah beberapa tahun kebelakang ini aplikasi TikTok sangat populer di banyak kalangan, mulai dari anak-anak muda sampai orang tua. Menurut kompas.com, pengguna aplikasi TikTok di Indonesia tembus sebanyak 157,6 juta pengguna per Juli 2024. Banyak fitur dan kegiatan yang bisa dilakukan di aplikasi TikTok bagi para penggunanya.

Fitur-fitur di dalam TikTok yang memberikan kesempatan bagi para penggunanya untuk mengunggah foto dan video, mengirim foto dan video, berteman dengan orang banyak, dan akhir-akhir ini muncul fitur streak membuat TikTok semakin populer. Setiap konten TikTok yang muncul di For You Page juga merupakan konten yang sudah dipersonalisasi bagi para tiap penggunanya. Personalisasi ini didasarkan pada algoritma yang menganalisis perilaku pengguna, seperti video yang ditonton, disukai, dikomentari, serta durasi interaksi dengan setiap konten.

Saking seringnya scrolling TikTok, kita mungkin tidak sadar bahwa sebenarnya ada campur tangan hormon di otak kita yang berperan saat kita keasyikan menonton video-video yang ditayangkan. Hormon yang terlibat mulai dari dopamin yang membuat kita merasa senang hingga hormon kortisol yang membuat kita merasa stres.

One Scroll, One Happiness

Hormon dopamin merupakan salah satu kunci mengapa kita merasa senang saat menonton konten di TikTok. Dopamin dikenal sebagai “hormon kebahagiaan” yang dilepaskan otak ketika kita melakukan atau mengalami sesuatu yang menyenangkan. Setiap kali kita menemukan video yang menarik, lucu, atau menghibur, otak memberi "reward" berupa pelepasan hormon dopamin. Hal inilah yang membuat kita terus menerus scrolling layar karena dopamin menciptakan rasa penasaran dan kepuasan. Semakin banyak dopamin yang dilepaskan, semakin sulit bagi kita untuk berhenti menonton.

Video TikTok yang bervariasi juga memberikan sensasi berbeda bagi para penontonnya. Selain berisi konten-konten lucu, terkadang TikTok menawarkan konten video dengan musik yang sedang populer. Musik yang masuk ke dalam indra pendengaran kita akan diterima langsung oleh talamus. Talamus adalah bagian dari otak yang berfungsi mengatur emosi dan perasaan secara langsung tanpa memikirkan baik atau buruknya. Maka dari itu, musik dapat memperkuat efek dopamin yang dilepaskan. Kombinasi antara visual konten dan musik iringan yang membentuk cerita singkat menjadikan TikTok sebagai aplikasi yang sangat efektif untuk memberikan hiburan instan bagi para penggunanya.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, konten yang ditampilkan di TikTok sudah disesuaikan atau dipersonalisasi dengan penggunanya. Hal ini menyebabkan konten yang ditampilkan saat kita membuka aplikasi TikTok semakin relevan dengan selera humor dan kehidupan masing-masing penggunanya. For You Page yang unik bagi tiap para penggunanya membuat pengalaman menonton semakin menarik karena kita merasa terlibat. Algoritma TikTok mempelajari kebiasaan para pengguna dengan cepat sehingga video yang muncul seolah-olah selalu berkaitan dengan kehidupan kita yang kemudian menyebabkan kita terus-menerus menggulir layar.

Too Much to Handle! 

Belum lama ada fitur “streak” di DM di TikTok yang memungkinkan pengguna untuk mengirim video kepada teman-teman dan menjaga streak dengan mengirimkan video setiap hari. Jika tidak berbincang lewat DM TikTok dengan mengirim sebuah pesan atau video TikTok, maka streak bisa hilang. Secara tidak langsung, fitur ini menciptakan semacam kompetisi di antara pengguna, yaitu seberapa lama streak dapat dipertahankan. Hal ini membuat pengguna TikTok cenderung membuka aplikasi TikTok setiap hari, hanya untuk menjaga streak tetap terjaga. Meskipun tampaknya sederhana, aktivitas ini bisa mengarah pada penggunaan aplikasi yang berlangsung selama beberapa menit dan berlanjut memakan waktu berjam-jam setiap harinya. Tidak hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai cara untuk tetap terhubung dengan teman-teman yang ada di TikTok.

Konten-konten TikTok memang menyenangkan. Namun sayangnya, secara tidak langsung, muncul standar sosial baru yang kemudian dilakukan banyak orang. Standar sosial yang dimaksud dapat berupa standar kecantikan, standar pasangan, dan bahkan standar gaya hidup. Apabila kita merasa harus memenuhi standar tersebut, perasaan kurang percaya diri atau cemas dapat muncul. Hal ini berkaitan dengan pelepasan hormon kortisol sebagai respons tubuh terhadap stres. 

Tak hanya itu, drama yang ada di TikTok juga memiliki dampak signifikan bagi para penggunanya. Seringkali para pengguna TikTok merasa harus terus mengikuti drama yang berlangsung agar tidak “ketinggalan zaman”. Peristiwa ini disebut FOMO atau Fear of Missing Out, di mana muncul perasaan cemas saat tidak mengetahui hal-hal yang sedang terjadi. Pengguna cenderung akan menggali berbagai informasi dari komentar publik dan beberapa akun yang bersangkutan agar tahu seluk beluk drama yang berlangsung.

Ilustrasi Siaran Langsung TikTok (sumber: Freepik)
Ilustrasi Siaran Langsung TikTok (sumber: Freepik)

Tricks to Track

Sebagai pengguna aplikasi TikTok, tentunya kita ingin mengambil sisi positif dan sebisa mungkin membuang sisi negatifnya. Jika kamu merasa terlalu banyak menggunakan TikTok, kamu bisa memulai dengan beberapa trik untuk merekam jejak penggunaan TikTok kamu agar menjadi lebih sehat.

Langkah pertama yang bisa kamu lakukan, yaitu menentukan batas waktu dalam menggunakan aplikasi TikTok. Kamu bisa memulai dengan mengurangi sedikit demi sedikit waktu yang kamu habiskan dalam menonton TikTok. Jika sudah berhasil, maka kamu bisa mulai mengurangi waktu dalam jumlah yang lumayan besar, seperti 30 menit atau 1 jam.

Lanjut ke langkah kedua, kamu bisa memilih dan memilah konten apa yang akan kamu tonton. Kamu tidak perlu mengikuti segala kejadian atau kasus yang terjadi. Tidak apa-apa jika sesekali kamu mengikuti drama yang berlangsung di TikTok, tetapi jika kamu sudah merasa kewalahan, sebaiknya kamu langsung berhenti dan mencari konten hiburan lain.

Hal terakhir yang bisa kamu lakukan, yaitu mencari kegiatan lain. Kamu bisa mengganti kegiatanmu menonton TikTok dengan olahraga, membaca buku, memasak, dan masih banyak hal lagi. Hal ini dapat membantu kamu agar tidak menjadikan aplikasi TikTok sebagai aplikasi yang harus rutin kamu buka.

Melalui langkah-langkah ini, kamu dapat menikmati konten TikTok tanpa harus merasa kewalahan. Semuanya tergantung bagaimana kamu merespons dan mengontrol diri sehingga kamu tetap bisa produktif dan menyelesaikan tanggung jawabmu dengan baik.

Referensi:

Kompas.com. (2024, October 25). Indonesia pengguna TikTok terbesar di dunia tembus 157 juta, kalahkah AS. Kompas. https://tekno.kompas.com/read/2024/10/25/15020057/indonesia-pengguna-tiktok-terbesar-di-dunia-tembus-157-juta-kalahkan-as

BMS Telkom University. (n.d.). Menguasai algoritma TikTok untuk bisnis: Meningkatkan awareness dan engagement. Diakses 3 Desember 2024, dari https://bms.telkomuniversity.ac.id/menguasai-algoritma-tiktok-untuk-bisnis-meningkatkan-awareness-dan-engagement/

Supradewi, R. (2010). Otak, musik, dan proses belajar. Buletin psikologi, 18(2).

Kumar, B. Manipulating Our Brains: The Neuroethics of Social Media Addiction.

Anzella Lovely Vadincha, & Mira Sekar Arumi. (2024). HUBUNGAN ANTARA SELF-CONTROL DENGAN FEAR OF MISSING OUT (FOMO) PADA PENGGUNAAN MEDIA SOSIAL TIKTOKLiberosis: Jurnal Psikologi Dan Bimbingan Konseling, 2(3), 81–90. https://doi.org/10.3287/liberosis.v2i3.3006 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun