Mohon tunggu...
Agmelia Nadya Putri
Agmelia Nadya Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Pemerintahan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Urgensi Pengesahan PP Royalti Musik di Masa Pandemi

17 April 2021   17:00 Diperbarui: 18 April 2021   14:35 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Industri musik di Indonesia yang telah berkembang cukup pesat rupanya tidak terlepas dari persoalan hak cipta, royalti, dan label rekaman yang menaungi pemusiknya. Menurut Atmadja (2017), permasalahan serius yang harus dihadapi Indonesia dalam industri musik adalah perlindungan hak cipta khususnya terhadap suatu ciptaan musik atau lagu. Indonesia dalam riwayatnya bahkan pernah dikecam oleh dunia permusikan internasional akibat lemahnya perlindungan terhadap hak cipta musik atau lagu. Kemudian mengenai label musik atau rekaman merupakan merek dagang yang diasosiasikan dengan proses pemasaran rekaman musik. Label inilah yang akan secara khusus mengelola proses produksi, distribusi, sampai menjaga dan menjamin hak cipta rekaman yang dimiliki pemusik. Lalu, arti royalti sendiri menurut Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta adalah imbalan atau pemberian upah atas pemanfaatan hak ekonomi yang dipakai terkait suatu produk ciptaan yang diterima oleh pencipta atau pemilik hak terkait. Sedangkan hak cipta menurut konsep ini merupakan objek hak milik. Hal tersebut dapat disimpulkan dari rumusan Pasal 2 UUHC, yang mengatakan bahwa: Hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada kondisi pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini, perekonomian menjadi sektor paling penting yang harus diperhatikan setelah kesehatan. Termasuk di dalamnya ada industri musik yang memiliki hak ekonominya sendiri atas karya-karya yang dihasilkannya. Sejatinya, lagu dan musik merupakan salah satu dari banyak karya cipta yang telah dilindungi secara eksklusif dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014, sebagaimana seperti yang dinyatakan pada Pasal 4 UUHC Tahun 2014 yaitu: Hak Cipta merupakan hak eksklusif yang didalamnya terdiri dari hak ekonomi dan hak moral. Suatu karya cipta tersebut tentunya menimbulkan adanya hak ekonomi (economy rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi merupakan hak yang dimiliki oleh seorang pencipta musik atau lagu untuk mendapatkan keuntungan atas ciptaannya. Hak ini menjadi hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya dan memberi ijin untuk itu. Negara Indonesia dalam UUHC juga melindungi hak ekonomi dan hak moral dari suatu karya cipta lagu dan musik.

Sejak ditandatanganinya Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 mengenai Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada tanggal 30 Maret 2021 oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menandakan telah resmi berlakunya peraturan baru yang akan menjadi dasar hukum baru atas Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) Nomor 28 Tahun 2014. Kemudian pada tanggal 31 Maret 2021, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, secara sah mengundangkan Peraturan Pemerintah ini yang dimana hal ini menunjukkan bahwa peraturan telah sah untuk diberlakukan. Selanjutnya, peraturan baru ini menyatakan bahwa segala bentuk layanan publik yang bersifat komersial akan diharuskan untuk membayar besaran royalti yang telah ditentukan pemerintah. Layanan publik disebutkan dalam peraturan ini diantaranya yaitu, konferensi yang bersifat komersial, seminar, restoran, kafe, pub, bar, distro, kelab malam, dan diskotek. Selain itu, terdapat layanan publik lain yang dicantumkan dalam peraturan tersebut yaitu, pemutaran musik atau lagu di dalam pesawat udara, bus, kereta api, kapal laut, serta konser musik dan pameran atau bazar. Kemudian ada bank dan kantor; nada tunggu telefon, pusat rekreasi, pertokoan, lembaga penyiaran televisi, lembaga penyiaran radio, hotel beserta fasilitasnya, dan usaha karaoke. Penambahan berbagai bentuk layanan publik yang bersifat komersial ini telah diatur oleh Peraturan Menteri.

Pada dasarnya, dengan diterbitkannya peraturan baru mengenai pengelolaan royalti hak cipta lagu dan musik ini merupakan angin segar bagi para pemusik atas karya-karyanya. Adanya peraturan ini bertujuan untuk memberikan sebuah perlindungan dan kepastian hukum terhadap hak-hak yang dimiliki pencipta, pemegang hak cipta, serta pemilik hak terkait dengan hak ekonomi atas lagu dan musik yang akan digunakan setiap orang secara komersial. Disamping itu, pengesahan peraturan ini dinilai dapat mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait lagu atau musik. Lalu, terdapat dasar hukum yang melandasi Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik yaitu, (1) Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun2014 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 266, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5599).

Bagi para pemusik, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 ini bukan hanya sebagai pelindung, tetapi juga sebagai penguat hak ekonomi atas karya cipta mereka. Seperti yang kita lihat, bahwa dewasa ini masih banyak sekali tempat-tempat komersial yang menggunakan musik dan lagu ciptaan seseorang secara cuma-cuma atau gratis, bahkan pada musik dan lagu yang memiliki hak cipta sekalipun. Akibatnya, para pemusik dan pencipta lagu banyak mengalami kerugian yang tidak sedikit. Hal ini berkaitan pula dengan lemahnya perlindungan atas hak ekonomi mereka. Peraturan Pemerintah ini juga bertujuan sebagai pelindung dan sebagai bentuk pemberian penghargaan atas karya cipta lagu mereka. Kini dengan adanya peraturan baru mengenai pengelolaan royalti, jaminan mengenai royalti yang harus mereka dapatkan semakin kuat dan baik. Tentunya hal ini merupakan kabar baik tersendiri bagi para pencipta lagu dan pemusik yang memegang hak cipta.

Dalam proses pelaksanaan pemberlakuan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2001 diharapkan pada seluruh pemegang kepentingan terhadap ekosistem musik mampu mengadvokasikannya agar kesejahteraan para pencipta lagu dan pemusik lainnya dapat terjamin dan terhindar dari aksi eksploitasi perusahaan penyedia konten digital yang sedang marak di masa sekarang. Dilihat dari sisi positifnya, jika para pemusik dan pencipta lagu mendapatkan hak atas royalti karyanya, maka tentunya kesejahteraan mereka akan meningkat, ketenaran dan perekonomian tidak lagi menjadi masalah yang diperdebatkan. Peraturan Pemerintah ini menjadi solusi bagi banyak pencipta lagu yang kehidupannya kurang beruntung, padahal karya-karyanya sedang hits dan dibawakan terus menerus setiap hari oleh tempat komersial. Hal ini akan menjadi peluang yang bagus pula bagi para pemusik indie baru yang akan membawakan lagu ciptaannya sendiri.

Selanjutnya terdapat beberapa hal positif yang disambut baik oleh industri radio terkait dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yaitu yang pertama, adanya kehadiran suatu lembaga yang memberikan royalti pada para pencipta lagu, sehingga hak ekonomi mereka dapat terpenuhi. Lalu yang kedua, dengan peraturan resmi tersebut menandakan adanya jaminan yang kuat atas pengelolaan royalti yang akan didistribusikan kepada para pemegang hak cipta. Selain itu, diharapkan dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 mampu mempercepat pertumbuhan ekosistem industri kreatif di Indonesia dan menjadi penanda bahwa negara Indonesia mendukung dan menghargai hasil karya dari individu atau orang perorangan di bidang industri kreatif.

Namun pada sisi lain, terdapat beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan pemerintah sebelum mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 yaitu keadaan Indonesia yang masih belum memiliki sistem pendeteksi dan penghitung banyaknya penggunaan lagu dan musik secara komersial. Sistem ini perlu ada agar jaminan mengenai pemberian royalti atas hak cipta dapat berjalan dengan adil sehingga tujuan dari pemberlakuan Peraturan Pemerintah ini dapat terlaksana dengan baik.

Peraturan baru mengenai royalti lagu dan musik yang telah disahkan 30 Maret 2021 kemarin dirasa belum cukup efektif akibat pengelolaan data tentang royalti yang belum optimal dilakukan dan besaran harga dari karya pemusik yang belum memiliki standar. Padahal, hal ini seharusnya sudah dipikirkan matang-matang oleh pemerintah sebelum peraturan baru disahkan. Pemerintah yang terkesan gegabah menimbulkan rasa keraguan masyarakat akan kefektifan jaminan kesejahteraan pada PP tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan Musik ini. Bahkan, apabila pada pengelolaan data royalti hak cipta ini belum transparan, akan berpotensi membuka lahan baru untuk praktik korupsi oleh sejumlah oknum.

Selanjutnya yang menjadi faktor keraguan sebagian masyarakat adalah pemerintah belum melaksanakan sosialisasi terkait PP No. 56 Tahun 2021 serta menjelaskan secara rinci mengenai teknis dan lembaga apa saja yang menjadi wadah bagi para pencipta lagu untuk menuntut hak ekonomi atas royalti yang ia dapatkan.  Harapannya, tarif royalti yang akan dikenakan harus berlandaskan keadilan agar tidak memberatkan dan merugikan salah satu pihak. Peraturan perihal hak cipta tidak dapat berjalan efektif apabila belum ada kesadaran dari masyarakat untuk menghargai karya seniman.

Tidak bisa dipungkiri bahwa adanya pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia saat ini membuat sektor perekonomian industri musik semakin tergerus. Para pemusik dan pencipta lagu semakin gencar memperjuangkan hak cipta atas karya mereka. Namun, tidak hanya industri musik yang harus merangkak dibawah grafik perekonomian, keadaan industri radio pun ikut kritis. Ditambah lagi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Lagu dan/ Musik membuat industri radio semakin getir akibat dana royalti yang harus ditanggung di setiap lagu yang ia putar atau mainkan. Padahal esensi sesungguhnya dari radio adalah keberadaan musik atau lagu itu. Biaya operasional yang besar dan kadang tidak sebanding dengan pemasukan serta kondisi krisis akibat pandemi semakin menekan perekonomian industri radio. Ditambah lagi radio bukan media visual seperti televisi yang bisa membuat program atau konten tanpa keberadaan lagu dan musik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun