Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Renungan Muda, Pelajaran dan Nilai-nilai Kehidupan

14 November 2016   21:29 Diperbarui: 14 November 2016   23:07 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dear diary

malam ini dingin. Gelap tanpa cahaya. Tidak ada yang menarik di angkasa. Bintang gemintang meredupkan diri. Cahaya bulan tidak nampak bersinar seperti biasanya. Sungguh gelap sekali.

"Dek sudah malam masuk." Suara itu terdengar dari dalam mengingatkan kami yang sedang berkumpul di beranda rumah beratapan rumbia.

"Iya nek, nanti kami masuk." Temanku membalas lembut suruhan nenek dari dalam.

Beberapa teman sudah nampak tertidur di ruangan tengah dengan kondisi seadanya. Beralas terpal plastik, berbantal tas, berselimut jaket tanpa bad cover yang biasa melindungi dirinya. Kegelisahan terlihat ketika nyamuk hinggap di tubuhnya. Mereka saling mengusik diri, menggaruk bagian yang gatal tergigit nyamuk. Disini mungkin neraka baginya ketika membandingkan dengan rumah kamar tidurnya dengan fasilitas yang lengkap.

"Git aku masuk dulu ya, mau tidur." Seorang teman berpamitab masuk diikuti beberapa teman lainnya yang sedari tadi bersamaku duduk di beranda.

Seorang diri menikmati malam di desa pelosok negeri rasanya sungguh berbeda. Hawa dingin menyelimuti, rasa iba mendiang dalam diri tentang sesosok nenek yang tinggal seorang diri di rumah reyot ini.

Aku ingin menceritakan sedikit padamu diary tentang aktivitasku seharian di tempat ini. Akan kutuliskan sebuah renungan tentang pembelajaran dan nilai kehidupan.

Dalam rangka kegiatan sosial, aku beserta rombongan dari organisasi masuk ke desa ini dengan perjuangan yang luar biasa. Medan yang sulit di tempuh dengan jalan yang berbatu dan berkelok. Namun itu bukan penghalang niat kami untuk melakukan kegiatan sosial di desa ini.

Ketika sudah sampai di desa, kami yang terbagi menjadi beberapa tim berpencar mencari rumah penduduk di sekitar. Mengajukan ijin kepada kepala desa kemudian warga sekitar untuk menginap satu malam, sembari mempersiapkan segalanya untuk esok puncak acara.

Aku bersama beberapa orang rekan terdiri dari lima orang, menginap di salah satu rumah yang terbilang cukup buruk sekali keadaannya. Rumah bilik yang beratapan rumbia, berlantai tanah tanpa alas, juga keadaan dalam rumah yang sungguh memprihatinkan.

Rumah itu di diami oleh seorang nenek yang sudah hidup menjanda dan sebatang kara. Pekerjaannya hanya sebagai buruh bungkus kerupuk yang penghasilan hariannya hanya berkisar 10-30rb, tergantung dengan banyaknya bungkusan yang dikerjakan.

Selama seharian tadi aktivitas kami lebih banyak bertanya pada sang nenek. Dia sudah menjanda selama lebih dari dua puluh tahun, karena suaminya yang meninggal. Sang nenek hanya memiliki satu orang anak perempuan. Dan harus pergi meninggalkannya karena ikut suaminya yang berasal dari pulau seberang. Sejak menikah, sang anak baru dua kali datang kembali ke tempat nenek ini.

"Nenek tapi masih berkomunikasi dengan anak nenek?" Aku bertanya di sela-sela ceritanya.

"Tidak nak, aku tidak tahu bagaimana cara berkomunikasi, aku tidak bisa membaca dan menulis." Suaranya halus menjawab.

"Apakah nenek tidak rindu dengan anak atau cucu nenek?" Salah seorang teman menimpali.

"Rindu nak, tapi bagaimana lagi? Aku tidak memiliki apa-apa. Seandainya bisa pergi menyusul tentu aku pasti tersesat." Suara lirihnya membalas pertanyaan teman.

Mendengar jawaban yang demikian polosnya seketika hatiku terenyuh. Rasa malu mulai menghantui diri karena, hal sebaliknya justru terjadi pada generasi kami saat ini.

Dalam hati kecilku merintih, nek sungguh hebat sekali ketika mendengar ucapanmu bahwa kamu bisa menahan kerinduan yang luar biasa tersebut. Generasi kami saat ini tidak mungkin bisa melakukannya. Kami tidak bisa menahan rindu, bahkan sekedar mendapatkan kabar dari sang pacar. Boro-boro sampai bertahun tahun tidak bertemu, wong satu hari tidak dikabari saja marah. Kami senang sekali jikalau sudah bermain gadget, padahal hal yang kami bicarakan tidaklah penting. Kami senang melakukan semua itu.

Dan nenek harus tau, sebagian besar dari generasi muda kami mau melakukan hal apapun untuk untuk mengobati rasa rindu bertemu pacar. Jikalau terpisah jauh, banyak dari kami yang meninggalkan segala aktivitas seperti kuliah, bekerja, ataupun hal lainnya. Pasalnya jikalau itu tidak dilakukan, kami bisa terserang virus galau yang berujung depresi, karena rasa rindu itu. Kerinduan bagi kami adalah segalanya, oleh karenanya kami wajib melakukan apapun untuk bisa mengobatinya.

Sungguh ironis sekali bukan, nek?

Aktivitas lain yang kami lakukan disini adalah membantu sang nenek membungkus kerupuk. Kami berlima melakukan semua itu dengan tujuan membantu sang nenek supaya pekerjaannya ringan dan cepat selesai. Namun hal sebaliknya terjadi, bantuan yang kami lakukan justru hanya menambah beban pekerjaannya. Pasalnya kerja kami lama sekali, dan banyak juga kerupuk yang rusak terpotek karena terburu-buru.

"Maaf ya nek banyak kerupuk yang rusak." Sembari memasukkan kerupak temanku berujar pelan.

"Tidak apa nak." Ia membalas dengan senyum.

"Nenek kok bisa cepat sekali membungkusnya sih? Dan terlihat masih kuat sekali." Ujar salah seorang teman wanita.

"Mungkin sudah terbiasa melakukan semua ini nak. Dahulu nenek juga seperti kalian, tapi makin lama sudah biasa." Balas nenek dengan halus.

"Nenek kan sudah tua dan sudah tinggal seorang diri, kenapa nenek tidak ikut anak nenek saja?" Temanku bertanya kembali.

"Aku tidak ingin merepotkan anakku nak. Aku masih bisa melakukan semuanya tanpa harus merepotkan anakku walaupun dengan segala keterbatasan. Asal aku mau bekerja aku pasti bisa makan, yang terpenting anakku dan cucuku bahagia disana." Nenek membalas lembut, senyum tulus terpancar dari mimik wajahnya.

Hatiku langsung bergetar seketika mendengar jawabannya. Ingin sekali ku ceritakan padanya keadaan generasi kami saat ini. Namun aku merasa sangatlah malu dengannya.

Dalam batin aku melirih, nek kehidupan kami saat ini sangatlah enak. Dengan segala fasilitas yang diberikan orang tua membuat kami menjadi terlena. Kami tidak tahu hakikat perjuangan dan kerja keras seperti yang kamu miliki saat ini. Kami lebih senang bermain, menghabiskan uang, dan melakukan apapun demi kesenangan. Kami bisa melakukan semua itu karena hasil meminta dari orang tua kami. Pun terkadang kami memaksa orang tua untuk bisa memenuhi segala yang kami inginkan. Tanpa tau bagaimana perjuangan yang mereka lakukan demi kebahagiaan kami.

Kamu tau nek, generasi kami lebih senang menunggu dan meminta. Kami tidak tahu bagaimana cara menghasilkan uang seperti apa yang nenek lakukan. Toh seandainya ingin bekerja, kami selalu menjagakan dari orang tua kami. Entah diberikan modal olehnya, menunggu kabar dari rekan atau koleganya untuk dimasukan kerja, ataupun meneruskan usaha yang sudah dilakukannya.

Bukankah itu lebih simpel dan enak nek? Kami memilih itu semua karena tidak mau repot dan capek.

Angin semilir mulai bertiup. Perlahan masuk ke dalam tubuh menyentuh hati. Air mata mulai membendung. Ku tatap rembulan di langit yang masih meredup. Aku masih terdiam menghadap langit dan terus berkontemplasi. Sembari menceritakannya pada diary.

Sore tadi saat kami ingin mandi. Betapa kagetnya ketika tahu langsung, bahwa kami harus menimba air yang ada di belakang rumah dahulu, kemudian membawa airnya ke kolah yang ada di kamar mandi.

Kamipun segera ke sumur untuk mengambil air bersama. Selesai mengambil air kamipun segera mandi secara bergantian.

Jarak sumur ke kamar mandi terbilang cukup jauh sekitar lima puluh meter. Terasa cukup berat ketika harus menimba kemudian membawa ember berisikan air penuh untuk dipindahkan. Pekerjaan tersebut sangatlah menguras tenaga.

"Nek apakah setiap hari kalau nenek ingin mandi melakukan hal seperti itu nek?" Aku bertanya halus pada nenek.

"Iya nak, kalau tidak begitu aku tidak mandi." Suaranya pelan membalas.

Salah seorang teman wanita yang sudah selesai mandi keluar dengan keadaan menggigil.

"Dingin ya nek airnya?" Suaranya pelan bertanya.

"Iya nak memang dingin, apalagi kalau malam." Sang nenek membalas.

"Iya nek." Teman wanitaku membalas senyum. Sembari menyelimuti bagian tubuhnya dengan handuk.

Sungguh sangat hebat sekali dengan apa yang dilakukan oleh nenek. Untuk bisa mandi saja dia harus berusaha keras menimba sumur, kemudian mengangkat ember berisi air dan memindahkannya ke kolah.

Hatiku merasa haru seketika karena malu mengetahui keadaan yang terjadi. Aku melirih dalam hati kecil, nek kami tidak pernah repot seperti apa yang kamu lakukan setiap hari hanya untuk mandi. Di tempat kami sudah tersedia sanyo yang hanya memutar krannya air keluar dan bisa dipergunakan. Tidak perlu berusaha keras menimba air dalam sumur dan membawanya ke kolah. Cukup simpel bukan nek?

Dan kamu harus tau nek, perilaku kami sangatlah manja sekali. Sebagian besar generasi kami saat ini menggunakan air hangat untuk mandi dengan fasilitas water heater yang tersedia. Tidak bisa kami mandi dengan air dingin seperti apa yang nenek lakukan setiap harinya. Jikalau water heater sedang mati kami lebih memilih untuk tidak mandi dan mengeluhkan keadaan.

Kami sangat manja sekali ya nek?

Malam semakin larut. Langit masih gelap. Hawa dingin mulai menyergah dan menggerayang seluruh bagian tubuh. Suara hewan pada rumput ilalang semakin kencang bergeming.

Ku akhiri kontemplasiku malam ini padamu diary. Terimakasih mau mendengarkan curahan hatiku yang mewakili sikap umum pemuda saat ini. Mungkin lain waktu akan kusambung kembali dengan cerita yang lain tentang pelajaran dan nilai kehidupan yang kudapatkan.

Salam.

*Maaf tidak bisa upload cover, nulis dari hape soalnya. Tolong kasih foto min hehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun