*
Pengumuman kenaikan kelas akhirnya tiba. Nilai raporku terbilang baik semoga saja ditempatkan di kelas unggulan. Tidak hanya itu harapan terbesarku adalah tidak satu kelas lagi bersama Zam. Sudah kelas dua belas dimana kita harus fokus untuk menghadapi ujian nasional. Jikalau masih saja satu kelas dengannya itu bisa membuatku semakin gila.
Namun harapanku seolah sirna ketika aku melihat bersama teman-teman di mading umum sekolah. Aku mendapatkan kelas unggulan. Namun begitu pula dengan Arya. Dia memang cerdas namun mengapa harus lagi sekelas denganku. Tidak terima dengan itu semua aku langsung menghadap kepala sekolah untuk merubah kembali ruang kelasku dengan alasan tidak ingin sekelas dengan Zam.
Kepala sekolah enggan menerima permintaanku. Akhirnya karena tidak terima aku menghubungi kedua orang tuaku dan berharap mereka bisa membantuku untuk memohon kepada kepala sekolah. Namun kedua orangtuaku tidak mau menuruti permintaanku dan berusaha untuk menyelesaikan segala masalahku sendiri. Sudah dewasa tidak boleh meminta dan memohon kepada orangtua.
Beruntung aku masih memiliki seorang sahabat dan sekelas lagi denganku yaitu Vera. Dia sekelas kembali denganku. Akhirnya kuputuskan kembali untuk duduk dengannya. Dan lagi-lagi Zam orang yang paling kubenci duduk di belakangku. Berkali-kali aku bertukar tempat duduk tetap saja ia membuntutiku kemanapun aku pergi.
Sempat waktu itu hal yang sangat memuakkan dalam hidupku terjadi. Saat pelajaran matematika dengan guru yang terkenal killer Zam ditunjuk untuk menyelesaikan tugas yang sudah dituliskan di papan tulis. Sangat menakjubkan sekali saat itu ketika dirinya mampu mengerjakan semuanya dengan sangat baik. Sang guru mengapresiasikan apa yang sudah dikerjakan oleh Zam.
Namun tidak disangka-sangka ia justru mencoba menghinaku di depan teman satu kelas. Ia menunjukku selanjutnya untuk maju, karena memang seperti itulah peraturannya. Siapapun yang sudah mengerjakan harus menunjuk kawannya yang lain. Aku semakin marah kepadanya. Berusaha untuk maju dan menuliskan di depan kelas soal yang tidak sama sekali aku mengerti. Akhirnya seluruh kelas menyorakiku dan guru memberikan teguran untukku. Terlihat Zam sedang tertawa menertawakanku.
Langsung seperti biasa aku berlari ke kamar mandi. Seorang sahabatku yang tidak lain adalah Vera membuntutiku berlarian seorang diri. Di kamar mandi lagi-lagi aku menangis dengan sangat keras sembari memukul-mukul kaca yang ada di sana.
"Pus jangan terlalu diambil hati. Zam memang seperti itu." Suara Vera lembut mencoba menasehati.
Apa? Sudah berapa kali aku dibuat malu bahkan dihinakan di depan semua teman? Kau bilang cukup? Aku menyeringai memandang wajah Vera yang sedang berusaha menasehatiku dengan lembut.
*