"Kegelapan telah datang. Cahaya penerangan jiwa telah menghilang. Penderitaan ini tak kunjung pulang. Menghambat perjalanan mencapai kebahagiaan." Sembari mengusap menancapkan jarum sol Niko bersyair. Seorang anak yang baru memasuki usia remaja tersebut harus berusaha keras mencari uang bersama ayahnya semenjak rumahnya terbakar dan ibunyapun meninggal.
"Syairmu bagus nak." Ujar kliennya yang sedang disolkan sepatunya oleh Niko. Orangnya terbilang rapi dengan menggunakan kemeja yang dibalut jas hitam. Usianya belum tua mungkin sekitar 30 tahunan.
"Alah pak cuma bentuk curhatan semu kepada semesta yang tega mengambil semua dari kehidupanku." Serunya pelan sembari menekan jarum sol masuk dan menjahitnya.
"Kamu berbakat menjadi penyair terkenal nak?" Serunya halus. Niko langsung spontan kaget dan menatapnya. Matanya membeliak tidak percaya ada orang yang memujinya demikian.
"Dulu aku sempat berfikir demikian,tetapi" Niko kembali menundukkan kepalanya "aku tidak memiliki apapun untuk mencoba. Jadi semua itu aku anggap sebagai sebuah fatamorgana."
"Tidak nak." Ia mencoba mengambil sesuatu dari dalam tasnya ini ada sebuah acara festival lomba yang aku dapat tadi dijalan. "Semua orang bisa mengikutinya nak." Sembari menyodorkan pamflet bergambar tokoh penyair terkenal.
Niko tidak menjawab sama sekali apa yang dikatakannya. Ia terus berusaha cepat menyelesaikan pekerjannya. Tidak lama sepatu yanh dikerjakanya akhirnya selesai dan iapun menyerahkannya.
"Hmmm." Bagus sekali dan terlihat bersih. "Oh ya jangan lupa ikuti perlombaan ini ya. Kamu pasti bisa".
Setelah memberi upah lelaki itupun pergi. Niko terdiam sejenak membaca kembali selembar pamflet yang diberikan. Masih ada banyak waktu untuk berlatih mempersiapkan segalanya.
Langit elok dengan sedikit awan. Matahari bersinar terang siang itu. Sinarnya terasa menyengat dan membakar lapisan kulit paling dalam. Nikopun menemui ayahnya di sebuah warung tempatnya makan. Di depan warung terlihat terparkir berbaris beberapa angkutan umum. Mungkin pengendaranya sedang beristirahat di tempat yang sama ini.
Ayahnya terlihat duduk seorang diri di pojok warung. Belum makan masih menunggu Niko datang.
"Yah, ayah." Seru Niko pelan ketika menghampirinya. "Niko ingin mengikuti festival lomba ini." Ia menunjukkan selembar pamflet tersebut kepada ayahnya.
"Dari mana kamu dapatkan ini?" Tanya ayahnya dengan intonasi yang lemah.
"Dari salah satu konsumen yah."
"Sudahlah nak, ini cuma khayalan untuk bisa menang. Ini merupakan fatamorgamana yang tidak mungkin kau dapatkan."
"Tadinya aku berfikir demikian yah, tetapi sekarang saatnyalah aku mengejar fatamorgana tersebut." Balas niko dengan seringainya.
"Sudahlah nak, lebih baik pikirkan kembali uang untuk kehidupan esok. Masih bisa makan tidak kita?" Ayahnya secara tidak langsung melarangnya.
Niko terdiam mengamati lingkungan sekitar. Di depannya banyak sekali angkutan berhenti. Lalu ia memalingkan matanya ke arah jalan raya. Beberapa angkot terlihat berjalan dengan membawa banyak penumpang. Sang supir memegang beberapa uang yang di letakkan di depan setirnya. Berbeda dengan angkutan ya g berhenti, terlihat sepi dan tidak ada penumpangnya.
"Angkutan yang berhenti di depanku tidak akan mendapatkan apapun jikalau dia terus berhenti." Tiba-tiba niko membuka suara "berbeda dengan angkutan di jalan sana yang membawa banyak sekali penumpang dan mendapatkan hasil." Niko mengehela napas panjang.
"Apa maksudmu nak?" Ayahnya bertanya tidak mengerti dia tatap terus wajah anaknya dari samping sembari mengamati pergerakan bibir anaknya.
"Begitupun dengan aku ayah" Niko langsung membalikkan wajahnya menghadap sang ayah "jikalau aku tidak berusaha mencoba untuk mengikuti lomba tersebut aku menganggapnya hanyalah sebuah khayalan untuk menang. Tetapi jikalau aku mengikutinya aku akan berikan segalanya untuk bisa meraihnya"
Ayahnya terdiam seribu bahasa mendengar apa yang dikatakan anaknya.
*
Gilirannya telah tiba dengan penuh percaya diri niko naik ke atas panggung. Pakaiannya tidak bagus justru terbilang kumal, dengan memakai kemeja yang dibalut jas sobek di bagian ketiak ia sangat percaya diri. Saat naik ia mulai berkata sepatah mengeluarkan penyambutan untuk semua yang hadirin. Namun sepertinya tidak ada yang menghiraukannya.
Ketika syair itu dilantunkan seluruh hadirin terlihat histeris dan haru. Sebuah syair tentang arti kehidupannya ia lantunkan dengan penuh pengkhayatan. Beberapa orang yang sedari tadi sedikit mengejek kemampuannya ikut merasakan sedikit duka.
Niko turun dari panggung dan duduk kembali melihat peserta yang lain. Tidak ada ayah yang menemani hanya seorang diri. Ayahnya masih harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya hari ini dan esok untuk membeli makan. Namun niko tidak mempermasalahkannya dan terus berusaha mewujudkan impiannya.
Setelah semuanya selesai kini saatnya pengumuman pemenang dibacakan. Seluruh peserta nampak tegang mendengarkan sedikit kata yang keluar dari pembawa acara. Namun tidak dengan Niko dengan senyumannya ia tetap yakin bahwasanya ia memiliki kapabilitas yang tinggi dalam bersyair. Perhitungan nilai dalam menentukan pemenang dilakukan oleh 3 dewan juri yang langsung melihat dan mendengarkan di ruangan.
"Pemenangnya adalah Niko." Teriak pembawa acara dengan penuh keceriaan.
Saat mendengarkan apa yang dikatakan pembawa acara Niko langsung tersenyum dengan sumringahnya. Apa yang dilakukannya kali ini adalah langkah awal untuk terus meraih mimpinya. Mengejar sebuah fatamorgana yang dikatakan ayahnya.
"Nanti dulu sebentar." Teriak seorang laki-laki sedikit tua yang tidak lain adalah ketua pelaksana acara.
Niko langsung tercengang melihatnya ketika ia berusaha naik ke atas panggung untuk mendapatkan hadiah.
"Anak ini sudah ku tunggu sampai saat ini untuk memberikan identitasnya sebagai syarat untuk mengikuti perlombaan." Ia meneruskan "namun sampai saat ini dia tidak memberikan apapun yang disyaratkan. Jadi ini sebuah masalah besar."
"Sebentar." Seru seseorang dari bangku penonton yang duduk menyaksikan sedari tadi. "Setiap kamu membeli barang kamu tidak pernah bertanya siapa pembuat atau pengrajinnya bukan?"
Semua orang diam melihatnya bersuara tegas. Kharismanya nampak sekali terlihat ketika ia bicara. Termasuk Niko yang hanya mencermati gaya bicaranya yang sangat cerdas dan intelektual.
"Apa maksudmu?"Ujar ketua pelaksana dengan seringainya.
"Apakah perlu identitas jikalau memang anak itu memiliki kualitas?" Sembari menunjuk Niko "Dewan juripun memberikan penilaian yang terbaik untuknya. Kenapa identitas harus dipermasalahkan?"
Semua orang langsung mendukung langkahnya. Mereka berteriak dan memberikan dukungan kepada Niko. Dengan penuh keharuan air mata Niko menetes sedikit menyentuh membasahi pipi. Ingin rasanya berterima kasih pada lelaki itu.
Lelaki itupun menghampiri dan meneluk Niko. Sembari mengusap-usap rambutnya ia berkata lirih "kejarlah impianmu nak. Sudah terbukti bukan kamu memiliki kualitas? Disinilah akhirnya terbukti bahwasanya kamu memiliki kapasitas. Terus semangat dan kerja keras ya nak. Ini bukan fatamorgana yang sebelumnya kau katakan."
"Terima kasih ya om." Niko memeluknya erat sembari berlinangan sedikit air matanya yang turun membasahi pakaiannya bagian belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H