Mohon tunggu...
Agita Bakti Wardhana
Agita Bakti Wardhana Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kelontong bodoh, pemalas, tukang modus.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Tidak Ingin Dilahirkan

12 Juli 2016   13:10 Diperbarui: 12 Juli 2016   13:13 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan kerasnya pagar rumah kubanting. "Duar!" Hingga aku sendiri terkaget mendengarnya. Mungkin ibu di dalam juga mendengarkan benturan kerasnya. Aku kesal dan emosi kepada ibu, beberapa hari terakhir ini ia selalu mencari celah kesalahanku meskipun sedikit. Memarahi dan memaki dengan suara keras dan terkadang kasar memekakan telingaku.

Aku tahu ibu berbuat demikian karena emosionalnya sedang naik tinggi. Melampiaskan seluruh amarahnya kepadaku karena perbuatan ayahku yang demikian buruk. Ayah memiliki wanita simpanan yang dinikahinya siri, walaupun secara syariat dibenarkan namun tidak pantas secara etika karena tidak meminta ijin ibu dahulu.

Yang lebih membuat ibu jengkel adalah terdengar kabar bahwasanya ayah mendekorasi secara total rumah barunya bersama sang istri. Perabotan-perabotan di dalamnya bernilai puluhan juta rupiah pada setiap jenisnya. Home teater yang dibelinya belum lama seharga 55 juta, meja makan 25 juta dan sebagainya. Semua itu dilakukan sang ayah untuk menuruti istri barunya.

Ayah juga menanyakan tentang dekorasi kamar yang diberikan untukku. Namun aku langsung menolaknya. Aku lebih memilih ikut bersama ibu. Tidak ada yang kupilih diantara keduanya, hanya hasrat nurani yang terpendam dalam hari bahwasanya aku tidak bisa jauh dari ibu.

Setiap akhir pekan ayah selalu mengajakku keluar untuk sekedar berbincang mengenai kegiatanku sehari-hari. Tidak lupa ia selalu menanyakan bagaimana dengan nilai-nilai pelajaran di sekolahku. Aku hanya membalas seadanya kata-kata yang ia lontarkan tidak bertanya lebih jauh. Beberapa kali aku diajak untuk menengok rumah barunya, aku menolak dengan tegas ajakannya.

Beberapa kali melihat tingkah laluku yang menolak ajakannya membuat ayah berfikir bahwasanya ibu sudah mencuci pikiranku. Sehingga ia mulai membuka suara yang tidak enak untuk diperdengarkan. Beberapa kali ia menjelek-jelekkan ibu di depanku. Sembari menitipkan pesan tersirat dari ucapannya yang lugas untuk disampaikan kepada ibu. Ayah juga mengatakan bahwasanya jika bukan karena aku mungkin sudah lama mereka berpisah.

Pesan tersirat dari ayah ku sampaikan kepada ibu. Namun ibu semakin jengkel mendengarnya, sehingga ia membalaskan pesannya dengan menitipkannya padaku. Tidak berupa surat, hanya ucapan yang terbilang cukup sarkastis untuk disampaikan. Rupanya ibu juga berfikir demikian sama seperti ayah, jika bukan karena aku mungkin sudah lama mereka berpisah.

Apalah gunanya diriku ini jikalau hanya sebatas penyampai pesan yang berisikan kebencian? Benarkah keduanya berjuang mempertahankan rumah tangga hanya karenaku? Dalam benak hati kecilku memberontak kasar berusaha untuk terus melawan problematika dalam kehidupanku. Namun ternyata aku tidak kuat, aliran darah semakin panas dan mendidih melewati sendi-sendi dalam tubuhku.

"Kenapa aku harus dilahirkan jikalau seperti ini yang terjadi?" Aku mulai bersuara menghardik semesta seketika. Tidak kuat lagi dengan apa yang sudah ditakdirkannya untukku.

Jalanan semakin ramai dipadati kendaraan. Dengan lincahnya aku menyelip beberapa kendaraan, beberapa kali orang meneriakkanku aku tidak peduli. Hampir pula beberapa kali aku tergelincir karena ban belakangku yang sudah tipis. Namun itu bukanlah masalah serius aku bisa menghindarinya.

Di depan sudah terlihat rambu-rambu tanda memutar balik. Dengan cepatnya aku langsung membelokkan kendaraan seperti dalam sirkuit balapan tanpa melihat spion. Bus transjakarta dengan kecepatannya langsung melibas tubuh dan motorku seketika. Aku tidak sadar dan terpental dari kendaraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun