1. Takut pada murka dewa
Epikurus berpendapat bahwa kita tidak perlu takut pada murka dewa atau hal serupa, karena menurutnya dewa-dewa itu tidak ada. Ia mengatakan bahwa dewa-dewa tidak ikut campur dalam urusan dunia ini. Kehidupan saat ini sepenuhnya digerakkan oleh atom-atom. Epikurus percaya bahwa para dewa tidak akan merepotkan diri mereka sendiri dengan mencampuri urusan dunia. Oleh karena itu, keyakinan bahwa dewa akan menghukum atau mengintervensi kehidupan manusia seharusnya tidak menimbulkan ketakutan.
Pada masa itu, kepercayaan terhadap dewa-dewa sangat kental di kalangan masyarakat Yunani. Sebelum pengetahuan berkembang, mereka beranggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta, seperti hujan, gempa bumi, atau kekeringan, pasti disebabkan oleh murka dewa-dewa. Selain itu, sudah sangat lazim di zaman itu untuk mengaitkan wabah penyakit, bencana alam, kekalahan perang, dan peristiwa buruk lainnya dengan kemarahan para dewa atau kegagalan dalam membaca mantra yang dihaturkan kepada mereka (para dewa).
Epikurus meyakini bahwa salah satu sumber kecemasan manusia yang paling utama adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa, atau dengan kata lain, agama. Kebanyakan orang memandang agama sebagai pelipur, tetapi bagi Epikurus, justru sebaliknya. Ia berpendapat bahwa penderitaan, kecemasan, dan ketakutan banyak berakar dari agama. Campur tangan kekuatan adikodrati dalam kehidupan manusia, yang diyakini dapat mengatur atau mengendalikan nasib, bagi Epikurus tampak sebagai sumber teror. Dalam pandangannya, keyakinan akan murka dewa-dewa dan ancaman hukuman ilahi hanya akan menambah ketakutan dan menghalangi seseorang untuk meraih ketenangan batin yang sejati. Ia, Epikurus, sang pendobrak agama, demikian Diogenes menyebutnya, adalah seorang yang menistakan agama di bawah kakinya dan menyangkal keberadaan dewa-dewi Olympian yang dipercayai oleh masyarakat Yunani.
Saat di muka bumi terhampar tiada daya hidup manusia, tampak terinjak-injak dan remuk ternista, di bawah kejamnya agama, yang kala itu dari wilayah langit di atas sana menyingkapkan wajahnya, turun ke tengah insan-insan fana dengan wujudnya yang mengerikan, adalah orang Yunani yang mula-mula berani mengangkat matanya yang fana menatapnya; dialah yang pertama tegak dan menantangnya. Tiada dongeng tentang para dewa, kilat-guntur, atau laknat langit penuh ancaman yang dapat menggentarkan dia, bahkan semua itu kian membangkitkan jiwanya yang gagah perwira, hingga ingin ia menjadi yang pertama mendobrak pintu-pintu hakikat yang tebal terkancing rapat sehingga tenaga batinnya yang menyala-nyala pun meraja, dan terus ia maju menempuh, mengarungi jauh menembus kobar-kobar dunia, bertualang ke segenap juru batin dan jiwa ke sepanjang semesta tiada tara; dan sesudahnya sebagai pemenang ia kembali menjumpai kita, membawa pengetahuan tentang yang bisa dan tak bisa lahir ke dalam ada, mengejar kita dengan eloknya asas tentang bagaimana setiap hal mendapatkan dayanya yang terbatas, serta pagar pembatasnya yang kuat tertancap. Maka agama pun kini dinistakan, di bawah kaki manusia, dan ganti diinjak-injaklah dia: setinggi langit kemenangannya memuliakan kita. --- Syair Diogenes Laertius
Pada akhirnya, pernujuman, ramal-meramal, dan semua praktik keagamaan hanyalah takhayul, demikian pula keyakinan akan campur tangan Tuhan. Â
2. Takut pada kematian
Epikurus mengatakan bahwa kecemasan datang dari ketakutan manusia terhadap kenyataan hidup yang tidak kekal, fana, dan ujungnya berakhir pada kematian. Epikurus berpendapat bahwa kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti, karena ketika seseorang mati, ia tidak merasakan apapun--- kesadaran dan perasaan telah berakhir --- jiwa juga akan larut ke dalam atom-atom. Oleh karena itu, kecemasan tentang kematian tidak perlu ada, dan dengan melepaskan ketakutan tersebut, seseorang bisa mencapai kehidupan yang lebih damai dan bebas dari kecemasan.
"Jika kematian itu buruk, untuk siapakah itu buruk? Bukan untuk yang hidup, karena mereka tidak mati, dan bukan untuk yang mati karena mereka sudah tidak ada."Â --- Epikurus
Epikurus berbeda pendapat dengan filsuf besar lainnya, seperti Plato, yang mengatakan bahwa jiwa dan tubuh merupakan dua substansi yang berbeda, dan jiwa adalah kekal atau abadi. Menurut Plato, kematian hanya merenggut tubuh secara fisik, sementara jiwa yang lepas dari tubuh akan tetap abadi dan imortal. Sebaliknya, Epikurus berpendapat bahwa jiwa dan tubuh bukanlah dua entitas yang terpisah, melainkan keduanya saling terkait dan terdiri dari atom-atom. Ia meyakini bahwa ketika tubuh mati, jiwa juga akan berhenti eksis karena tidak ada bagian dari diri manusia yang kekal. Dengan demikian, Epikurus menolak gagasan tentang jiwa yang abadi dan menekankan bahwa kematian hanyalah akhir dari segala perasaan dan kesadaran.Â
"Kematian tak menjadi masalah bagi kita; sebab sesuatu yang telah musnah tak lagi memiliki sensasi, dan sesuatu yang tak memiliki sensasi tak menjadi masalah bagi kita." Bagi Epikurus, seperti yang tertulis di awal, kematian adalah akhir dari segala perasaan dan kesadaran, sehingga tidak ada pengalaman yang bisa dirasakan oleh orang yang telah meninggal.Â
Sesudah mati, jiwa pun musnah, sedangkan atom-atomnya, tentu saja, tetap ada. Namun, atom-atom tersebut tidak lagi dapat merasakan sensasi karena mereka tidak lagi terhubung dengan tubuh atau jiwa. Oleh sebab itu, menurut Epikurus,