Mohon tunggu...
Agito Yacobson Sitepu
Agito Yacobson Sitepu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Credo Ut Intelligam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kesenangan dan Kebahagiaan Menurut Pemikiran Epikurus

21 Januari 2025   21:50 Diperbarui: 21 Januari 2025   22:47 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diogenes Laertius (Sumber gambar: Pinterest)

Sedikit makan, sebab khawatir sakit lambung; sedikit minum, sebab cemas akan hari esok; menjauhi politik, percintaan, dan segala keinginan yang terlampau bergairah.

Epikurus adalah pendiri mazhab Epikurean yang lahir pada tahun 342 SM di kota Samos, sebuah koloni Athena. Ia berasal dari keluarga yang sederhana, bahkan bisa dikatakan miskin. Ayahnya adalah seorang pendatang dari Athena yang hidup dalam kondisi sulit di Samos dan bekerja sebagai pengajar dengan upah yang sangat rendah. Sementara itu, ibunya, menurut karangan kaum Stoa, dikenal sebagai seorang dukun yang sering berkeliling dari rumah ke rumah untuk mengajarkan doa-doa purifikasi.

Pada periode Hellenistis, terdapat dua mazhab utama yang paling menonjol, yaitu Epikurean dan Stoa. Pendiri kedua mazhab ini, Epikurus dan Zeno, lahir pada waktu yang hampir bersamaan dan masing-masing mendirikan kelompoknya di Athena. Kaum Stoa, menurut Diogenes Laertius, kerap menyebarkan fitnah dan tuduhan skandal terhadap kaum Epikurean, termasuk klaim tentang ibu Epikurus yang bekerja sebagai dukun. Tuduhan ini, meskipun sering digunakan untuk merendahkan Epikurus, sebenarnya lebih mencerminkan karakter kaum Stoa itu sendiri, yang selalu menganggap ajaran mereka tentang moralitas sebagai hal yang paling "benar". Namun, tuduhan tersebut tidak mencerminkan fakta yang sebenarnya mengenai Epikurus dan kehidupannya.

Pada tahun 311 SM, Epikurus mendirikan sekolah filsafat pertama di Mitylene dan Lampsacus, sebelum akhirnya pindah ke Athena sekitar tahun 306 SM. Di Athena, ia mendirikan sebuah sekolah yang dikenal dengan nama "The Garden", yang menjadi tempat untuk berdiskusi dan menyebarkan ajarannya. Di taman ini, Epikurus mengajarkan filsafat yang bercorak hedonistik, yang menekankan pencapaian kebahagiaan melalui kesenangan dan penghindaran penderitaan. Ajaran ini berfokus pada cara memperoleh kebahagiaan sejati, baik melalui kenikmatan fisik yang sederhana maupun ketenangan batin yang bebas dari kecemasan.

Wahai pembaca yang budiman, mungkin sebagian dari kalian pada awalnya berpendapat bahwa ajaran Epikurus berfokus pada pencapaian kesenangan melalui hal-hal yang amoral dan sensual, seperti seks, hidup boros, mabuk-mabukan, atau kenikmatan negatif lainnya. Namun, anggapan tersebut sejatinya keliru. Epikurus justru menentang pemuasan keinginan-keinginan tersebut. Ia berpendapat bahwa kesenangan sejati tidak diperoleh melalui ketergantungan pada hal-hal yang bersifat sementara dan dapat menimbulkan penderitaan. Sebaliknya, Epikurus mengajarkan bahwa kebahagiaan yang hakiki datang dari kesederhanaan dan kedamaian batin, yang tercapai melalui penghindaran terhadap keinginan-keinginan berlebihan dan ketakutan yang tidak berdasar. Dalam ajarannya, kesenangan yang sesungguhnya adalah kesenangan yang membawa kedamaian, bukan kenikmatan yang justru menjerat kita pada ketergantungan dan penderitaan.

Perbedaan Ajaran Hedonistik antara Kaum Epikurean (Epikurus) dan Kaum Cyrenaica (Aristippos)

Ajaran Epikurus tentang hedonisme tentu berbeda dengan ajaran Aristippos, pemimpin kaum Cyrenaica, yang mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kesenangan dapat diperoleh melalui kenikmatan indrawi atau jasmani yang bersifat sementara. Aristippos berpendapat bahwa kebahagiaan dan kesenangan berasal dari kenikmatan fisik yang langsung dirasakan oleh indra, dengan orientasi yang lebih bersifat lahiriah (seks, mabuk, dan lain-lain). Berbeda dengan ajaran Epikurus, yang menganggap bahwa kebahagiaan dan kesenangan diperoleh melalui kesederhanaan hidup dan ketenangan batin, dengan orientasi yang lebih spiritual atau batiniah.

Aristippos menyatakan bahwa kita harus mencari kesenangan sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan norma-norma sosial yang berlaku. Ia berfokus pada kebebasan individu untuk merasakan kenikmatan tanpa rasa bersalah atau ketakutan terhadap akibat amoral. Hedonisme kaum Cyrenaica ini lebih mengutamakan kenikmatan fisik langsung dan pengalaman sesaat, dibandingkan dengan bentuk hedonisme yang lebih terkontrol dan rasional seperti yang diajarkan oleh Epikurus. Meskipun keduanya sama-sama berfokus pada pencapaian kebahagiaan melalui kenikmatan, perbedaan mendasar terletak pada pendekatan terhadap jenis kenikmatan dan pemahaman terhadap keseimbangan dalam hidup.

Peace (Sumber gambar:  Pinterest)
Peace (Sumber gambar:  Pinterest)
Epikurus berpendapat bahwa kesenangan dan kebahagiaan dapat tercapai jika seseorang mampu mewujudkan ketenangan batin (ataraxia) dan terbebas dari kecemasan. Menurutnya, ketenangan batin ini dapat tercapai jika manusia dapat mengatasi tiga sumber ketakutan, yaitu: 1. Takut pada murka dewa, 2. Takut pada kematian, dan 3. Takut akan nasib. Mari kita bahas satu per satu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun