Ekonomi sirkular merupakan sebuah lingkaran dimana barang anorganik yang diproduksi tak hanya dipakai satu dua kali, melainkan tetap bisa dipakai sampai diluar masa pakainya dengan reuse (menggunakan kembali) recycle (mendaur ulang) dan remanufacture (produksi ulang).
Saya tidak tahu bagaimana kondisi di wilayah lain, tapi saya yakin masyarakat Yogyakarta tempat saya tinggal kini sudah sangat familiar dengan bank sampah.Â
Keluarga-keluarga menyortir sampah mereka dan sebagian sampah anorganik yang memiliki nilai tukar rupiah akan diserahkan kepada Bank Sampah. Nantinya para keluarga yang menyetor sampah mereka ke Bank Sampah akan diberikan semacam ‘buku tabungan’ untuk mengetahui jumlah saldo mereka.
Waktu saya pergi ke Bali untuk mengikuti Danone Blogger Academy pun saya diperkenalkan dengan SMP Wisata Sanur yang memiliki bank sampah. Siswa-siswi SMP Wisata dan bahkan warga sekitar SMP Wisata diarahkan untuk menabung melalui bank sampah. Sampah-sampah yang mereka setorkan nantinya akan dinilai sejumlah uang. Uang ini dari mana?
Tahukah anda bahwa di Indonesia sebenarnya sudah ada berbagai bisnis recycle untuk beberapa jenis sampah tertentu, umumnya sampah plastik?
Sampah-sampah ini nantinya akan dibeli oleh pabrik-pabrik daur ulang untuk didaur ulang menjadi produk baru. Sayangnya, jumlah pabrik daur ulang ini belum terlalu banyak.Â
Bisnis daur ulang masih berada di usia yang sangat belia di Indonesia, padahal sebenarnya jika pabrik-pabrik daur ulang ini semakin banyak harusnya keberadaan sampah plastik jadi lebih bisa teratasi.
Inisiatif untuk mengelola sampah plastik ini tentu saja harus dimulai dari pihak-pihak yang lebih besar seperti pemerintah dan industri yang memanfaatkan plastik. Saya jujur saja kagum dengan pemerintah Provinsi Bali yang berani melarang penggunaan kantong plastik di minimarket dan supermarket di Pulau Dewata.Â
Inisiatif menggunakan botol minum hasil recycle dari Aqua juga harus diapresiasi meski belum 100% menyebar di seluruh Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini tidak murah dan tentu tidak mudah.
Sebagai warga Jogja yang juga merupakan daerah wisata, saya berharap jogja juga bisa menerapkan banyak kebijakan ramah lingkungan seperti ini terutama di tempat-tempat wisata. Terbayang kan, indahnya wajah pantai-pantai dan perbukitan di Jogja tanpa sisa-sisa sampah plastik?
Jika dipikir-pikir sebenarnya bisa-bisa saja kita menolak penggunaan plastik 100%, akan tetapi seperti apa konsekuensinya? Sebuah artikel yang saya baca dari Tirto mengatakan bahwa inilah harga yang harus dibayarkan bila plastik dihilangkan: 1) Empat kali lebih besar untuk pemeliharaan lingkungan; 2) Lima kali lebih besar untuk perbaikan kesehatan dan ekosistem; 3) Tiga kali lebih besar untuk menanggulangi perubahan iklim dan; 4) Hampir dua kali lebih besar untuk perbaikan kerusakan laut.