Mohon tunggu...
Agi Tiara
Agi Tiara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Blogger, Mediator, Penggemar Ikan Ayam-Ayam

Hanyalah seorang blogger dibalik DUCKOFYORK.COM, mencoba menulis di kompasiana untuk pertama kalinya. Boleh disapa, jinak dan tidak menggigit lho!

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ketika Hidup Sehat Tidak Bisa Dilakukan Sendirian

28 Agustus 2019   08:35 Diperbarui: 28 Agustus 2019   09:02 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Emma Simpson on Unsplash

Pertengahan agustus 2019 lalu, saya 'mudik' alias pulang kampung ke kota kelahiran saya, DKI Jakarta. Seperti biasa, saya menyiapkan barang-barang yang saya butuhkan, mengecek cuaca dan lain-lain. 

Normal saja, selayaknya pejalan lainnya. Hanya saja, kali ini saya menyiapkan sesuatu yang sedikit berbeda mengingat berita di linimasa media sosial ramai memberitakan angka polusi yang tak kunjung turun.

Udara Jakarta, jika saudara tahu, itu kering. Memang tak sekering gurun pasir di Saudi Arabia, tapi jauh lebih kering dibanding udara Jogja yang lembab. Udara panas yang kering, dikombinasikan dengan polusi dan asap itu benar-benar tidak enak untuk dihirup. 

Dari jauh-jauh hari saya melakukan riset mini soal bagaimana melindungi diri dari polusi, mengingat ISPA dan alergi debu saya yang bisa kambuh kapan saja. 

Ada yang menyarankan untuk menggunakan masker N95 yang bisa menyaring partikel asap dengan lebih baik daripada masker bedah biasa. Ada juga yang menyarankan untuk menggunakan air purifier mini saat berada didalam ruangan. 

Macam-macam saran yang saya kumpulkan dari bacaan di internet dan obrolan meja kopi dari teman-teman yang paham soal kesehatan. Andai kata dompet saya mampu membayarnya, pasti saya akan melakukan semua saran-saran tersebut tanpa pandang bulu. 

Obrolan soal menangkal polusi udara terus bergulir, sampai salah seorang sahabat berkata dengan lantang, "kalau kamu beli maskernya online, terus dikirim pake kendaraan yang menghasilkan polusi juga, berarti kamu berkontribusi menyumbang polusi juga dong!"

DEG!

Baru sekali ini saya berpikir sejauh itu. 

Ya, sepele memang. Saya membeli masker untuk melindungi diri saya sendiri dari polusi udara dan dalam proses melindungi diri itu, tanpa sadar saya juga turut menciptakan polusi udara. Carbon Footprint, alias Jejak Karbon istilah populernya.  

Mengenal Jejak Karbon

Jejak karbon adalah total emisi yang dihasilkan dalam suatu peristiwa. Jejak karbon ini terdiri dari dua jenis yaitu jejak karbon primer dan sekunder. 

Jejak karbon primer itu adalah jejak karbon yang dihasilkan karena pembakaran secara langsung yang menghasilkan karbon misalnya saja penggunaan bahan bakar fosil di kendaraan. Nah yang kedua adalah jejak karbon sekunder yang dihasilkan dari proses siklus-siklus penggunaan suatu barang.

Mudahnya begini, misalnya untuk menghasilkan sebuah masker, pabrik yang memproduksi masker tersebut mengeluarkan gas buang sejumlah sekian, kemudian ketika masker itu dikirim ke distributor maka pengiriman yang menggunakan moda transportasi akan mengeluarkan gas buang sejumlah sekian, dan seterusnya sampai masker itu sampai ke tangan saya.

Nah jika dipikir demikian, maka jejak karbon ada dimana-mana!

Emisi gas buang yang dihasilkan dari jejak karbon kita jika terakumulasi dalam jumlah banyak akan menyebabkan peningkatan gas rumah kaca. Gas rumah kaca-- dalam jumlah yang terkontrol--sebenarnya berfungsi untuk menghangatkan bumi. 

Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, maka bumi akan menjadi sangat dingin dan tidak bisa ditinggali manusia, hanya saja jika jumlahnya terlalu banyak, maka akan terjadi pemanasan global (dikutip dari sumber). 

Pemanasan global ini berbahaya juga bagi kesehatan manusia, dengan terjadinya pemanasan global maka akan rentan terjadi penyebaran virus penyakit, munculnya penyakit terkait panas dan munculnya gangguan pernapasan (dikutip dari sumber).

Ini juga salah satu isu yang sempat diangkat ketika teman-teman aktivis lingkungan berbicara soal penggunaan sedotan logam yang konon lebih ramah lingkungan ketimbang sedotan biasa. 

Karena pada saat itu kebanyakan sedotan logam masih diimpor secara perorangan dari luar negeri, maka ujung-ujungnya sedotan-sedotan ramah lingkungan tersebut malah jadi tidak ramah lingkungan karena meninggalkan jejak karbon yang cukup banyak. 

Ujung-ujungnya jika kondisi lingkungan tidak lagi stabil, manusia juga yang merugi. Jadi, kita tidak bisa hidup sehat sendirian; untuk bisa menjalankan gaya hidup yang sehat, kita juga butuh lingkungan yang sehat. Salah satu cara untuk membangun lingkungan yang sehat adalah dengan mengurangi jejak karbon yang kita hasilkan. 

Nah kalau begini ceritanya bagaimana kita bisa mengurangi jejak karbon yang kita hasilkan setiap hari?

Mengurangi Jejak Karbon: Sebuah Permulaan

Tentu saja, mengurangi jejak karbon bukanlah hal yang mudah. Ingat ketika separuh pulau jawa mati listrik selama 24 jam di awal agustus 2019? 

Sesaat setelah matinya listrik, suhu udara menurun dan tingkat cemaran polusi udara juga menurun. Seharusnya jika tingkat cemaran polusi udara terus turun pastinya kualitas hidup masyarakat akan menjadi lebih baik kan? 

Tapi tidak mungkin dong, kita hidup tanpa listrik. Realistis saja, wong saat ini 3 kebutuhan dasar manusia sudah berubah menjadi 4: sandang, pangan, papan dan colokan!

Kalau dipikir-pikir, mengurangi jejak karbon sebenarnya bisa kita lakukan dengan cara-cara yang mudah: misalnya saja dengan berjalan kaki untuk berbelanja, mengurangi penggunaan produk dengan kemasan berlebih, mematikan listrik ketika tidak dibutuhkan, menggunakan kendaraan umum, dan lain-lain. 

Menurut saya, satu yang paling mudah dilakukan: mengonsumsi produk-produk lokal yang minim jejak karbon. 

Memang benar jika hanya satu orang yang mengurangi jejak karbonnya tentunya tidak akan berdampak besar bagi lingkungan sekitarnya, tapi bayangkan jika perilaku satu orang dapat menginspirasi 5 orang saja, yang tiap orangnya nanti akan menginspirasi 5 orang lainnya, dan begitu seterusnya. 

Dampaknya bisa besar sekali, seperti efek Bola Salju. Ini baru ngomongin inisiatif masyarakat ya, belom ngomongin peran korporasi. Dengan munculnya inisiatif-inisiatif seperti ini dari masyarakat dan perusahaan-perusahaan besar tentunya akan mempengaruhi jejak karbon keseluruhan. 

Ada sebuah artikel menarik dari Danone.com soal sustainable diet. Pada akhirnya menjadi sangat penting untuk melihat bagaimana pola makan manusia mempengaruhi kesehatan lingkungan disekitarnya. 

Masih banyak praktik-praktik produksi di sektor pangan yang membahayakan lingkungan. Konsumsi makanan manusia tidak seharusnya membahayakan lingkungan, karena kesehatan lingkungan dan kesehatan manusia sebenarnya saling terkait. Konsep ini dinamakan One Planet, One Health.

Penting untuk menjadi peduli terhadap produk-produk yang kita konsumsi. Mulai dari hal yang sepele seperti air mineral yang kita konsumsi sampai ke pakaian yang kita pakai. 

Kita bisa memilih produk-produk yang akan kita konsumsi, toh sudah banyak produk-produk dalam negeri yang memang sudah mempunyai inisiatif lingkungan yang baik. 

Nggak percaya? Saya pernah melihat instalasi salah satu inisiatif ingkungan yang menarik dari Aqua di Taman Pintar Yogyakarta. Aqua membuat kemasan air mineral yang dapat didaur ulang dan 100% berasal dari plastik daur ulang. 

Aqua juga punya 6 recycling unit untuk mengolah limbah plastiknya. Dari situ limbah botol plastik kemasan air mineral diubah menjadi sarung bantal dan aneka produk lainnya. 

Dengan melakukan banyak inovasi-inovasi kecil namun berarti (seperti menghilangkan segel plastik dan mengurangi bobot kemasan) maka Aqua juga sudah mengurangi emisi gas buang. Itu baru Aqua, masih banyak lagi inisiatif lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan lainnya. 

Tapi semua balik lagi kepada kita sebagai konsumen, jika perusahaan-perusahaan besar sudah berinovasi tapi kitanya yang ngeyel beli air minum kemasan botolan di warung yang jauhnya cuma 100 meter dari rumah dengan naik kendaraan bermotor ya... sama saja hasilnya dong!

Jadi, tolong ya, tolong. Ini 2019, waktunya kita berkolaborasi untuk hal-hal positif. Hari gini, mau sehat saja nggak bisa sendirian dong. 

Kita juga harus bisa berkolaborasi dengan orang-orang disekitar kita untuk membangun lingkungan yang sehat. Salah satu cara yang saya tawarkan adalah mengurangi jejak karbon kita demi lingkungan yang lebih baik dan kesehatan kita di masa depan.

Terus, gimana maskernya? Jadi beli nggak? Ya jelas nggak jadi, wong saya keasikan ngobrol sampai lupa beli masker!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun