Mohon tunggu...
agitia kurniati asrila
agitia kurniati asrila Mohon Tunggu... Lainnya - Psychology Enthusiast

Long life learner

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Haruskah Empati Dimiliki oleh Setiap Orang?

7 Agustus 2020   20:37 Diperbarui: 7 Agustus 2020   20:46 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

atau

 "Iya aku tahu persis apa yang kamu rasakan, aku juga pernah di posisi....."

Respon di atas mungkin dimaksudkan untuk membuat mereka yang curhat mensyukuri bahwa dirinya bukan satu-satunya orang yang ditimpa kesulitan. Akan tetapi, ternyata hal tersebut dibantah oleh sosiolog asal negeri Paman Sam, Charles Derber.

Menurut Bapak Charles, ungkapan semacam itu adalah suatu bentuk conversational narcissism, yang diartikan sebagai suatu perwujudan halus dari sifat kompetitif manusia yang selalu ingin jadi fokus perhatian. Conversational narcissism dilakukan sebagai upaya untuk mengambil alih percapakan dan mengubah fokus atensi kembali pada diri.

Percayalah ini tidak baik, zheyeng. Individu yang terbiasa meakukan coversational narcissism bukan termasuk individu yang nyaman untuk diajak berbicara. Berkat conversational narcissism pula kita dapat memblokade semangat penyintas kesedihan untuk mau bercerita. Ketika penyintas sudah memblokade informasi, jangan salahkan jika nanti mereka memilih diam dan menarik diri. Jangan salahkan juga, misalnya, kenapa kita sering terlambat mengetahui tanda-tanda depresi seorang teman atau mendeteksi secara dini potensi kasus kekerasan seksual yang marak terjadi dewasa ini. Penyintas memilih menunda cerita sampai kemudian kasus atau permasalahannya meledak setelah sekian tahun kemudian.

Nah, untuk mencegah terjadinya hal-hal serupa, kita harus kembali mengingat jati diri kita. Ingat! Kita adalah makhluk abad digital 4.0 yang seharusnya saling terkoneksi satu sama lain. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk tidak peduli, bukan ?

Empati sesungguhnya adalah keterampilan yang dapat dimiliki siapa saja, bukan hanya tenaga professional tertentu. Prakteknya pun dapat dilakukan seumur hidup. Berdasarkan berbagai sumber yang pernah saya pelajari, teknik utama empati yang paling mendasar adalah mendengarkan. Mendengarkan memang merupakan hal yang sangat penting. Akan tetapi, ada hal lain yang juga tak kalah penting, yaitu  menahan lidah untuk cepat menanggapi. 

Nanti dulu berkomentar ini itu. Urungkan dulu berkata "Aku paham apa yang kamu rasakan". Mereka yang mau bercerita adalah mereka yang memilih untuk mau didengarkan. Murni didengarkan dengan sungguh-sungguh, tanpa intervensi berupa kata-kata mutiara yang mungkin sempat dicatat ketika dulu sedang menonton Mario Teguh.

Alangkah manisnya hidup jika kita mau belajar diam dan mendengarkan. Bayangkan saja, kalau semua orang mampu untuk mendengarkan dan menahan lidah, implikasinya bukan hanya semakin banyak orang yang akan saling peduli satu sama lain, tetapi juga dinginnya hubungan akibat spesies kecebong dan kampret yang pernah kita rasakan dahulu tidak akan terjadi lagi di masa depan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun