Siapa sih yang ga kenal istilah empati ? Terlebih bagi anak psikologi yang selama masa kuliahnya selalu diingatkan untuk selalu mengasah empati. Ya maklum, jurusan psikologi, yang kabarnya sekarang makin tinggi peminatnya itu, memang menjadikan empati sebagai kemampuan dasar yang perlu dilatih. Wajib hukumnya, karena konon, hal itu dipengaruhi oleh tuntutan karir masa depannya, yakni sebagai wadah yang siap menampung berbagai keluh kesah orang lain.
"Lah berarti anak psikologi ga boleh ngeluh dong ?"Â
Ya boleh lah! Anak psikologi, bahkan psikolog juga manusia, yang pernah patah hatinya, ditolak cintanya, suram hidupnya.Â
"Tapi trus, kalau sudah begitu, gimana ya caranya agar mereka masih bisa berempati ?".Â
Kalau gini sih urusannya bukan cuma anak psikologi saja. Siapapun itu, walau terkadang kondisi yang dihadapi juga sedang sama suramnya, perlu memiliki kemampuan untuk bisa berempati.
Ya, sulit memang untuk mau melihat ke luar diri dan peduli jika kita juga belum selesai dengan persoalan diri kita sendiri. Akan tetapi, kalau mau menunggu persoalan kita selesai, ya kapan selesainya ? Coba diingat-ingat, euforia ketika lulus kuliah akan disambut oleh kegetiran menghadapi realita lapangan pekerjaan yang sulit. Ketika sudah bekerja, kita akan dibebani oleh tuntutan ini dan itu, seterusnya, seterusnya. Jelaslah sudah, kalau kita beralasan mau berempati ketika persoalan yang dialami sudah selesai, maka makna kata empati itu sendiri dikhawatirkan akan terlanjur menghilang dari muka bumi.
Kita sebenarnya sudah cukup dipermudah di zaman digital seperti saat ini. Isu kesehatan mental semakin mendapatkan perhatian. Setiap orang mulai bersuara mengenai pentingnya peduli terhadap kesehatan mental manusia lain. Kita sudah mulai akrab dengan istilah depresi, skizophrenia, dan lain sebagainya. Penyebaran informasi terkait isu kesehatan mental juga semakin dimudahkan dengan metode praktis, yakni screencapture lalu unggah. Nah, kalau sudah begini, kita sebagai makhluk Tuhan yang hidupnya terkoneksi dengan individu-individu lain, sudah sewajarnya perlu memiliki kemampuan berempati. Terlebih pada saat ini, ketika pandemi melanda dan kita rentan dengan kerandoman, perasaan gundah, dan kesulitan. Â
Empati secara sederhana diartikan sebagai suatu kemampuan untuk dapat memposisikan diri dalam perspektif orang lain, khususnya ketika orang tersebut mengalami distres emosional. Dilihat dari pengertiannya, kok ya berasa gampang ya untuk merasakan kesulitan orang lain ? Gampang bagi orang yang hidupnya juga sama jomblonya, sama gagalnya, sama pengangguranya, ya tho ?
Akan tetapi, sayang, dewasa ini implementasi empati ternyata belum sepenuhnya bisa tercapai. Alih-alih berempati, kita justru sering abai untuk melakukan aktivitas paling mendasar, yaitu mendengarkan. Kesalahan cara dalam mendengarkan bahkan berisiko terjadi pada kita yang merasa memiliki hidup yang sama suramnya. Mungkin karena, ya tadi ya, kita juga merasa pernah berada di posisi yang sulit, jadi ya mendengarkan kesusahan orang lain bukan lagi sesuatu yang baru.Â
Pikiran seperti itu sesungguhnya adalah jebakan bagi diri kita. Jebakan yang menghalangi kita untuk dapat merefleksikan diri melalui sudut pandang orang lain. Padahal kan, siapa tahu setelah selesai mendengarkan kegundahan orang lain, kita malah mendapatkan insight untuk dapat menyelesaikan persoalan yang kita hadapi. Salah satu contoh keliruan adalah ketika kita memberikan respon terhadap curhatan teman dengan kembali menceritakan kesulitan yang dialami, seperti
 "Lebih mendingan kamu, aku malah lebih menderita karena...."Â
atau
 "Iya aku tahu persis apa yang kamu rasakan, aku juga pernah di posisi....."
Respon di atas mungkin dimaksudkan untuk membuat mereka yang curhat mensyukuri bahwa dirinya bukan satu-satunya orang yang ditimpa kesulitan. Akan tetapi, ternyata hal tersebut dibantah oleh sosiolog asal negeri Paman Sam, Charles Derber.
Menurut Bapak Charles, ungkapan semacam itu adalah suatu bentuk conversational narcissism, yang diartikan sebagai suatu perwujudan halus dari sifat kompetitif manusia yang selalu ingin jadi fokus perhatian. Conversational narcissism dilakukan sebagai upaya untuk mengambil alih percapakan dan mengubah fokus atensi kembali pada diri.
Percayalah ini tidak baik, zheyeng. Individu yang terbiasa meakukan coversational narcissism bukan termasuk individu yang nyaman untuk diajak berbicara. Berkat conversational narcissism pula kita dapat memblokade semangat penyintas kesedihan untuk mau bercerita. Ketika penyintas sudah memblokade informasi, jangan salahkan jika nanti mereka memilih diam dan menarik diri. Jangan salahkan juga, misalnya, kenapa kita sering terlambat mengetahui tanda-tanda depresi seorang teman atau mendeteksi secara dini potensi kasus kekerasan seksual yang marak terjadi dewasa ini. Penyintas memilih menunda cerita sampai kemudian kasus atau permasalahannya meledak setelah sekian tahun kemudian.
Nah, untuk mencegah terjadinya hal-hal serupa, kita harus kembali mengingat jati diri kita. Ingat! Kita adalah makhluk abad digital 4.0 yang seharusnya saling terkoneksi satu sama lain. Maka dari itu, tidak ada alasan untuk tidak peduli, bukan ?
Empati sesungguhnya adalah keterampilan yang dapat dimiliki siapa saja, bukan hanya tenaga professional tertentu. Prakteknya pun dapat dilakukan seumur hidup. Berdasarkan berbagai sumber yang pernah saya pelajari, teknik utama empati yang paling mendasar adalah mendengarkan. Mendengarkan memang merupakan hal yang sangat penting. Akan tetapi, ada hal lain yang juga tak kalah penting, yaitu  menahan lidah untuk cepat menanggapi.Â
Nanti dulu berkomentar ini itu. Urungkan dulu berkata "Aku paham apa yang kamu rasakan". Mereka yang mau bercerita adalah mereka yang memilih untuk mau didengarkan. Murni didengarkan dengan sungguh-sungguh, tanpa intervensi berupa kata-kata mutiara yang mungkin sempat dicatat ketika dulu sedang menonton Mario Teguh.
Alangkah manisnya hidup jika kita mau belajar diam dan mendengarkan. Bayangkan saja, kalau semua orang mampu untuk mendengarkan dan menahan lidah, implikasinya bukan hanya semakin banyak orang yang akan saling peduli satu sama lain, tetapi juga dinginnya hubungan akibat spesies kecebong dan kampret yang pernah kita rasakan dahulu tidak akan terjadi lagi di masa depan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI