Hai, Juli.
Sesekali aku menyapa bulan, aku harap harapanku di bulan sebelumnya yang belum terealisasi agar segera dikabulkan.Â
Menyoal harapan, aku pernah berharap ingin memiliki sesuatu. Bahkan untuk memilikinya pun perlu usaha yang keras.Â
Aku harus begadang setiap malam, buku-buku selalu berserakan di area kamarku hingga malas membersihkan. Mama lah yang biasa protes terhadap kebiasaanku ini.Â
"Kebiasaanmu, ini buku atau dedaunan? Berserakan," omel Mamah setiap pagi jika mendapati kamarku seperti usai terkena gempa.
Aku tersenyum jail.Â
"Mau mama bereskan ya?" Pinta mamah menawarkan diri untuk membereskan kamarku.
"Jangan mah, aku saja. Ini tanggung jawabku," ujarku
Mamah kemudian kembali menuju dapur.
Rasanya hal itu tidak terjadi kembali untuk saat ini. Sebab, aku sudah memiliki yang aku mau. Kini, buku-buku hanya dijadikan sebagai hiasan lemari belajar. Sesekali dinikmati hanya dalam waktu tertentu.Â
Kebiasaanku yang dulu kini berubah sekejap saja hanya karena sebuah gawai canggih yang aku miliki. Aku bahagia, kini bisa memainkan gawai canggih seperti teman-trman berkat usaha kerasku hingga memeroleh peringkat pertama berturut-turut.Â
Mamahku sering marah dengan kebiasaanku sekarang. Apalagi sejak pandemi covid-19 segala pembalajaran dilakukan secara daring.Â
Walaupun begitu, pembelajaran hanya dilakukan dari pukul 7 pagi hingga 12 siang. Â Mamah masih memaklumi. Namun, ketika sudah menunjukkan pukul 1 siang hingga malam emosinya akan berapi-api.
Aku kesal.
Aku tak bisa leluasa berselancar dengan gawai canggihku di luar jam pembelajaran.Â
"Kamu mengapa sedari tadi menatap layar ponsel terus? Pembelajaran daringmu sampai larut malam?" Kesal Mamah.
"Tidak mah, hanya saja aku sedang asyik dengan dunia media sosial," jawabku enteng.
"Untuk saat ini memang asyik bagimu, tetapi nanti kamu akan mengerti bahwa dunia media sosial tak seasyik yang kamu kira."
Aku mengernyitkan dahiku.
"Kamu sekarang sudah kelas 3 SMA sayang, selama kamu memiliki gawai mamah merasa kamu menjauh dari mamah. Ketika mamah ingin bercerita denganmu, pasti kamu sangkal dengan alasan sedang sibuk membalas pesan singkat teman-temanmu. Ketika mamah memanggilmu untuk membantu di dapur kamu asyik memainkan jemarimu untuk memberikan tanda suka di setiap postingan orang lain. Ketika kita menonton televisi bersama, kamu tidak menyimak acara televisi tetapi sibuk menyimak status orang lain di beberapa media sosial."
Mamah berhenti sejenak berbicara. Memandangi raut wajahku yang sedari tadi sedang sibuk membalas komentar di akun instagramku.
"Kamu dengar mamah berbicara kan?" Tanyanya dengan nada keras.
Aku sontak langsung menjauhkan gawai canggihku dari genggaman tanganku. Aku memandangi raut wajah mamah yang sedari tadi menunggu jawaban dariku.
"Dunia yang kamu kira asyik sebenarnya bagi orang yang di dekatmu itu tidak asyik. Kamu sudah menjauhkan yang dekat dan mendekatkan mereka yang jauh." Ucapannya kembali terlontar kali ini dengan nada sedikit lirih.
Rasanya, aku perlu meminta maaf kepada diriku sendiri. Kepada mamah. Kepada semua yang telah menganggapku tak seasyik dulu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H