Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan yang berbunyi "tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" adalah norma yang mengandung legalitas sebagai suatu bentuk formal perkawinan. Pencatatan perkawinan dalam bentuk akta perkawinan (akta otentik) menjadi penting untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum untuk setiap perkawinan.Â
Oleh karena itu, DPR berpandangan bahwa perkawinan yang tidak dicatat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat diartikan sebagai peristiwa perkawinan yang tidak memenuhi syarat formil, sehingga hal ini berimplikasi terhadap hak-hak keperdataan yang timbul dari akibat perkawinan termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat sebagaimana ditentukan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di mata negara , perkawinan orang musliim yang belum dicatat oleh kantor urusan agama atau KUAdianggap tidak sah , atau bagi orang non muslim yang belum mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil dinilai jugatidak sah. Pencatatan perkawinan diperlukan untuk melindungi hak warga negara untuk berkeluarga dan untuk mendapatkan jaminandari hukum positif, perlindungan hak -- hak tertentuserta kekuatan hukum bagi suami, istri dan anak.
Sebenarnya dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, pihak yang akan sangat terdampak disini adalah sang istri dan anak, pasti ada akibat hukum yang terjadi jika perkawinan nya tidak dicatatkan, semisal mengenai nafkah istri kemudian hak -- hak anak seperti kewarisan dan status keperdataan sang anak. Dalam konteks filosofis, pencatatan perkawinan melambangkan ikatan sosial, keadilan dan kesetaraan, tanggung jawab, kelangsungan hidup manusia dan spiritual.Â
Oleh karena itu pencatatan perkawinan harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan untuk menjalani kehidupan bersama pasangannya. Dalam arti sosiologis, masyarakat harus menjadi saksi atau mengetahui bahwa pasangan tersebut menikah dan terdaftar di negara agar tidak menimbulkan fitnah.
Pernikahan dalam tinjauan sosiologis : Pada umumnya nikah di bawah tangan di Indonesia dipicu oleh empat faktor, yaitu: Pertama, berbenturan dengan aturan hukum positif.
Pernikahan di bawah tangan dilakukan untuk menghindari birokrasi yang berbelit-belit dan mungkin sulit untuk dilakukan. Selain itu dalam segi yuridis sendiri, perkawinan yang tidak dicatatkan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena masyarakat atau pasangan yang ingin menikah tidak mengetahui dan tidak mempunyai kesadaran akan hukum negara tentang perkawinan. Mereka juga tidak mengetahui akan pentingnya dokumen -- dokumen perkawinan atau juga bisa dikarenakan mereka tidak mampu membayar biaya pencatatan perkawinan dan lain-lain.
4. Perkawinan wanita hamil menurut ulama' dan kompilasi hukum islam.
 Didalam kompilasi hukum islam telah diatur beberapa hal mengenai perkawinan wanita hamil dalam pasal 53, yaitu : Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya, Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Para ulama' fiqh memiliki perbedaan pendapat mengenai perkawinan wanita hamil ini.Â
a. madzhab hanafi : perkawinan itu sah, baik si perempuan menikah dengan laki -- laki yang menghamilinya atau tidak, boleh menikah dengan orang lain jika anak yang dikandung itu sudah lahir, dan boleh menikah asal sudah lewat dari masa haid dan suci.
b. madzhab maliki mengatakan tidak sah perkawinannya kecuali dia menikah dengan laki -- laki yang menghamilinya dan dengan syarat harus taubat terlebih dahulu.