Mohon tunggu...
Agis
Agis Mohon Tunggu... Lainnya - A Learner

Seorang pembelajar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Renungan Kakak Pendidik

14 Juli 2020   19:26 Diperbarui: 14 Juli 2020   20:09 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar awal tahun 2016, Saya mengajukan diri pada sebuah rumah belajar di kota. Saya cantumkan ketertarikan pada bidang akuntansi dan bahasa Inggris yang sesuai dengan bidang dan kemampuan Saya.  Tidak ada ekspektasi yang terlalu tinggi untuk honor ataupun sejenisnya. Saat itu, Saya hanya merasa rindu dan terpanggil.

Latar belakang dari fakultas keguruan tak Saya miliki. Apalagi kemampuan pendagogik dari serangkaian pelatihan mumpuni dan bersertifikasi. Namun, Saya menyakini bahwa setiap kita memiliki tanggung jawab sebagai pendidik, setidaknya untuk diri sendiri dan keluarga. 

Maka, kurang bijak jika orang tua menyerahkan 100% pendidikan anaknya kepada pendidik di sekolah, karena tempat proses edukasi pertama dan utama ada di rumah. Orang tua adalah aktor utama perancang masterplan pendidikan bagi anak-anaknya. 

"Guru terbaik adalah sosok  yang tak pernah berusaha menggurui, tetapi menginspirasi dan memotivasi" 

Satu pekan kemudian, Saya mendapatkan panggilan untuk ujian tulis dan wawancara. Singkat cerita, Saya diterima dan diamanahkan tiga murid yang berbeda latar belakang pendidikan dan keluarga--satu siswi sekolah dasar kelas tiga, satu mahasiswa akuntansi semester awal, dan satu siswi SMP. Cukup beragam karakter setiap anak maka metode pendekatan tentunya berbeda.  

Si kecil tidak bisa belajar terlalu serius, jika tidak maka ogah-ogahan belajar, dan akhirnya ngambek. Namun, si besar maunya diseriusin. Meskipun demikian, mereka semua adik-adik yang manis dan penurut, menurut saya. Saya sangat menikmati berperan sebagai "kakak" mereka.

Namun, ada perenungan berarti yang Saya sadari kini. 

"Saya bukan kakak (pendidik) yang baik" 

Saya merasa bersalah. Saya menemukan kesalahan fatal yang Saya atau bahkan  pembaca pernah lakukan ketika menjalani peran "kakak"

1. Mencecoki secara berlebih

Tanpa sadar, kita terus saja menyuapi peserta didik tanpa pernah menanyakan, "Laparkah, dik? Sudah kenyang, dik?" Kita bahkan tak mengajarkan mereka independen untuk makan sendiri bahkan mengajarkan cara memperoleh makanan yang bernutrisi banyak terlupa. Mereka menjadi tak pernah tahu bahkan paham bagaimana rasa haus dan laparnya pada ilmu. Mereka hanya berdaya mengadahkan tangan.

2.  Dikejar target

Kita sering berganti peran menjadi "karyawan", bukan pendidik. Karyawan yang memiliki target "nilai akademis peserta didik yang gemilang, shining, dan splendid", yang harus dipenuhi. Jika tidak tercapai, tawaran mengajar terancam hilang.  Maka, "kakak" pun bertindak seoptimal mungkin agar nilai akademik adiknya baik, minimal tidak "mengulang". Berbagai bank soal beserta rumus ajaib dikumpulkan, diramu, dan diprediksi potensi terbesar yang keluar pada ujian. Kemudian? Adik mengerjakan kumpulan soal yang telah kakak tersayang ramu. Mereka tidak terpapar proses eksplorasi edukasi, karena kakak telah melakukan.

3. Memenuhi ekspektasi orang tua 

Pada sisi lain, pihak orang tua meletakkan sebuah harapan yang utuh dan sempurna pada sosok pendidik, seolah-olah label "keberhasilan anak" telah menjadi jaminan karena telah diajarkan oleh Si Kakak.  Mirisnya, ada orang tua yang mencuci tangan dari tanggung jawabnya untuk terlibat aktif dalam proses pendidikan anak. Semua urusan diserahkan kepada sekolah dan para pendidik.
Ini seperti orang tua berperan sebagai stockholders dan meminta profit kepada manajemen (sekolah dan pendidik) atas investasi yang telah dilakukan (pencapaian anak yang gemilang).  Para kakak dibuat kelimpungan dan melakukan berbagai alternatif demi mencapai ekspektasi para investor di bursa pendidikan. Jika tidak? Tentu tendensi investor beralih ke emiten lain yang lebih "menguntungkan"

Fenomena ini sebenarnya telah menjadi rahasia publik. Hal ini tersebab makna proses belajar dan asesmen kesuksesan pendidikan masih terdistorsi dalam angka-angka kuantitatif. 

Sehemat Saya, ini memang permasalahan klasik yang tak kunjung berakhir. Ini adalah sebuah tugas besar pembangunan peradaban bangsa di masa datang.

Apa yang Saya tulis hanyalah sepenggal kesalahan yang telah Saya sadari. Maka, kurang bijak jika digeneralisasi secara merata kepada semua "kakak" ataupun orang tua. Beberapa "kakak" telah menginspirasi, bahkan menjadi pahlawan yang memang "tanpa tanda jasa" di pelosok nusantara, yang mungkin belum kita pernah tahu kisah heroiknya. Adapula beberapa orang tua yang telah mencoba dengan segala keterbatasannya mendidik dengan pendidikan "terbaik".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun