2. Â Dikejar target
Kita sering berganti peran menjadi "karyawan", bukan pendidik. Karyawan yang memiliki target "nilai akademis peserta didik yang gemilang, shining, dan splendid", yang harus dipenuhi. Jika tidak tercapai, tawaran mengajar terancam hilang. Â Maka, "kakak" pun bertindak seoptimal mungkin agar nilai akademik adiknya baik, minimal tidak "mengulang". Berbagai bank soal beserta rumus ajaib dikumpulkan, diramu, dan diprediksi potensi terbesar yang keluar pada ujian. Kemudian? Adik mengerjakan kumpulan soal yang telah kakak tersayang ramu. Mereka tidak terpapar proses eksplorasi edukasi, karena kakak telah melakukan.
3. Memenuhi ekspektasi orang tuaÂ
Pada sisi lain, pihak orang tua meletakkan sebuah harapan yang utuh dan sempurna pada sosok pendidik, seolah-olah label "keberhasilan anak" telah menjadi jaminan karena telah diajarkan oleh Si Kakak. Â Mirisnya, ada orang tua yang mencuci tangan dari tanggung jawabnya untuk terlibat aktif dalam proses pendidikan anak. Semua urusan diserahkan kepada sekolah dan para pendidik.
Ini seperti orang tua berperan sebagai stockholders dan meminta profit kepada manajemen (sekolah dan pendidik) atas investasi yang telah dilakukan (pencapaian anak yang gemilang). Â Para kakak dibuat kelimpungan dan melakukan berbagai alternatif demi mencapai ekspektasi para investor di bursa pendidikan. Jika tidak? Tentu tendensi investor beralih ke emiten lain yang lebih "menguntungkan"
Fenomena ini sebenarnya telah menjadi rahasia publik. Hal ini tersebab makna proses belajar dan asesmen kesuksesan pendidikan masih terdistorsi dalam angka-angka kuantitatif.Â
Sehemat Saya, ini memang permasalahan klasik yang tak kunjung berakhir. Ini adalah sebuah tugas besar pembangunan peradaban bangsa di masa datang.
Apa yang Saya tulis hanyalah sepenggal kesalahan yang telah Saya sadari. Maka, kurang bijak jika digeneralisasi secara merata kepada semua "kakak" ataupun orang tua. Beberapa "kakak" telah menginspirasi, bahkan menjadi pahlawan yang memang "tanpa tanda jasa" di pelosok nusantara, yang mungkin belum kita pernah tahu kisah heroiknya. Adapula beberapa orang tua yang telah mencoba dengan segala keterbatasannya mendidik dengan pendidikan "terbaik".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H