Judul tulisan ini boleh diintrepretsikan untuk hal-hal yang lebih luas seperti menulis untuk melawan kemiskinan, menulis untuk melawan kebodohan, menulis untuk melawan ketidakadilan dan seabaginya. Namun saya ingin menarik benang merah antara menulis sebagai langkah perlawanan ini dengan eksistensi mahasisiwa.
Dalam pergerakan mahasiswa, tulisan memainkan peran penting baik untuk memberikan pernyataan sikap, hasil diskusi, redaksi, atau bahkan sekedar guna menunjang eksistensi semata.
Dari beragam bentuk perlawanan yang dilakukan mahasiswa, sepertinya menulis adalah kegiatan yang tidak sementereng diskusi dan unjuk rasa. Entah karena lupa atau karena enggan membahas bahwa banyak aktivis yang dulunya konsisten melawan lewat tulisan seperti Wiji Tukul, Tan Malaka, dan sebagainya.
Padahal hari ini, teknologi menyediakan jalan pertama untuk menngangkat isu dan menyelesaikannya dengan lebih efisien. Mahasiswa yang bernaung dalam organisasi mahasiswa  hendaknya memiliki inisiatif dan kesadaran dalam menulis. Meyuarakan isu-isu yang perlu untuk diangkat lewat tulisan melalui opini dan esai di banyak platform penerima tulisan-tulisan tersebut di internet, atau bahkan agar lebih kuat kita bisa menyuarakan tulisan melalui jurnal ilmiah, buku, maupun artikel ilmiah populer di media massa yang kredibel.
Sesungguhnya dengan menulis kita telah melangkah masuk dalam adaptasi dengan Revolusi Industri 4.0 yang seringkali dikaitkan dengan peran mahasiswa hari ini. Namun sejauh ini apakah pergerakan mahasiswa telah menempuh langkah adaptasi dengan era digitalisasi itu setidaknya dengan diskusi komprehensif?
Menulis sebagi bentuk perlawanan bukan berarti hanya pandai secara teori namun nol dalam praktek. Namun dengan menulis menunjukkan kematangan dalam berpikir sistematis, kritis, dan analitis kita sebelum dan sesudah praktek. Dengan membaca hasil tulisan, kita mampu membaca konsep pergerakan yang ingin dinyalakannya sehingga kita bisa merevisi lagi agar semakin tajam.
Benar kata Pram, bahwa Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".Â
Jika pergerakan mahasiswa tersebut  konsisten melatih menulis dalam sebuah forum, maka tulisan-tulisan tentang sejarah pergerakannya, pengabdian masyarakat, pendampingan kepada rakyat akan dapat didokumentasikan dengan baik di dalam artikel, esai, buku, bahkan jurnal ilmiah.Â
Kumpulan rekam jejak dalam tulisan inilah yang menjadi kajian dan referensi bagi mahasiswa-mahasiswa di masa yang akan datang yang mungkin akan menghadapi hal yang sama.
"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian"- Pramoedya Ananta Toer"
Itu terbukti dengan realita hari ini di mana kita sering mengutip kata-kata para aktivis terdahulu. Seperti ungkapan Wiji Tukul di Solo 1986 "Apabila usul ditolak tanpa ditimbang, Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alas an, Dituduh subversif dan mengganggu keamanan. Maka hanya ada satu kata: Lawan!"