Mohon tunggu...
Agi Julianto Martuah Purba
Agi Julianto Martuah Purba Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Saya senang mengamati, membaca, merasakan dan menyatukan semuanya dalam tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yuk Kenalan dengan HOTS

13 Februari 2020   21:35 Diperbarui: 13 Februari 2020   21:58 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini HOTS sedang ramai diperbincangkan di dunia daring, pun laring mulai dari para pakar pendidikan, guru, orangtua hingga siswa.

Padahal sejatinya HOTS sudah banyak disisipkan pada buku-buku paket berstandar kurikulum 2013 (K13) bahkan hingga pada soal-soal ujian seperti Ujian Nasional.

Akar dari implementasi HOTS pada dunia pendidikan hari ini adalah hasil gebrakan Kemendikbud. Kemendikbud menyatakan bahwa soal-soal maupun bahan ajar seperti itu dirancang dengan mengikuti standar programme for international student assestment (PISA).

PISA adalah survei tiga tahunan yang diselenggarakan oleh Negara anggota organization for economic cooperation and development (OECD) atau yang dikenal juga sebagai Organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi.

Survei ini dilakukan setiap tiga tahun untuk mengevaluasi dan mengukur kemampuan siswa yang berusia 15 tahun dalam sains, matematika, dan kemampuan membaca. 

Dilansir dari Kumparan, di dalam hasil survei PISA 2018 menempatkan Indonesia di urutan ke-74, alias peringkat keenam dari bawah. Dalam kategori Sains memproleh skor 396 (rata-rata OECD 489), sedangkan dalam Matematika memperoleh skor 379 (rata-rata 489). Dan skor terendah ada pada kategori Membaca, yaitu sebesar 371 (rata-rata OECD 489).

"itulah akibatnya bila menghafal tanpa memahami. Kau akan menghabiskan 4 tahun untuk belajar dan 40 tahun untuk menyesali" - 3 Idiots

Apa itu HOTS?

HOTS adalah akronim dari Higher Order Thinking Skill. Kita lebih mengenal dengan kemampuan berpikir tingkat tinggi. HOTS berlandaskan pada teori Taxonomy Benjamin bloom pada 1956, seorang psikolog asal Amerika. Taxonomy kemudian di revisi oleh muridnya, yakni Lorin Anderson pada 2001 yang membuat piramid pengelompokkan kemampuan kognitif manusia dari tingkatan terendah hingga ke paling tinggi.

Ada enam tingkatan atau level pada klasifikasi berpikir tersebut, dimulai dari menghafal (remembering), memahami (understanding), menerapkan (applying), menganalisis (analyzing), menilai (evaluating), dan menciptakan (creating).

Mengapa Harus HOTS?

Dengan menyadari gejolak revolusi industry 4.0 sebagai tantangan setiap Negara termasuk Indonesia, agar mampu beradaptasi dengan era ini yang ditandai dengan era percepatan tekhnologi dan digitalisasi.

Pada era ini kemampuan siswa tidak lagi diharapkan hanya mampu menjadi pekerja yang mengikuti perintah atau alur saja, namun dibutuhkan pekerja yang mampu berinovasi (creativity), berpikir kritis (critical thinking), berkolaborasi (collaboration), dan mampu menyelesaikan masalah (problem solving). Artinya tuntutan bagi siswa adalah bagaimana menciptakan ide-ide inovatif dan tidak lagi hanya mengulang dan mengulang apa yang telah ada.  

Kemudian apa perbedaan pada setiap level pada taxonomy ini. Untuk itu mari kita ambil contoh yang terkait dengan pendidikan karakter di kurikulum pendidikan Indonesia, yaitu toleransi. Tindakan setiap manusia akan berbeda satu sama lain tergantung pada kemampuan kognitifnya.

Pada tingkat menghafal (remembering), siswa belum mengenal konsep hidup bertoleransi. Ini bisa kita temukan jika kita tanyakan kepada mereka bagaimana hidup bertoleransi, mereka mungkin tidak tahu jawabannya karena mereka masih dalam tahap pengenalan akan toleransi tersebut.

Pada tingkatan memahami (understanding), siswa sudah memahami konsep hidup bertoleransi, Jika kita tanyakan bagaimana caranya bertoleransi dengan teman dengan suku yang berbeda dengan kita, mereka akan bisa menjawab hidup bersama-sama karena kita semua saudara. Namun, mereka hanya paham secara teori, tetapi secara praktek mereka masih belum mampu melakukannya. Oleh kerena itu masih ada kejadian bullying terhadap RAS.

Di tahap selanjutnya, yaitu tingkatan aplikasi (applying), setelah siswa paham bahwa semua manusia adalah sama, mereka juga mampu saling menghargai satu sama lain. 

Tetapi, jika ditanyakan, mengapa harus saling menghargai kepada teman dengan suku yang berbeda? Mereka tidak mampu menjawabnya karena mereka bertindak hanya sekedar aturan dan perintah saja. Artinya mereka belum paham sebab akibat dari saling menghargai tersebut.

Nah, ketiga tahap tersebut adalah bagian dari kemampuan berpikir tingkat rendah atau LOTS. Ada perbedaan konsep berpikir pada ketiga tahapan tersebut.

"Seni tertinggi guru adalah untuk membangun kegembiraan dalam ekspresi kreatif dan pengetahuan" - Albert Einstein

Kemudian, tiga tingkat kemampuan berpikir tingkat tinggi diawali dengan,  tingkatan analisis (analyzing) yaitu mereka sudah bisa berpikir mengapa harus saling hidup bersama, saling menghargai dalam beragam perbedaan.

Contohnya, jika tidak saling menghargai antara sesama kita akan menyebabkan kebencian, permusuhan, hingga perpecahan diantara kita yang sebenarnya adalah saudara. Pada tahap ini mereka sudah mampu memikirkan konsekuensi dari setiap tindakan mereka.

Selanjutnya adalah tingkatan  evaluasi (evaluating), siswa tidak hanya mampu untuk saling menghargai dan hidup bersama, namun siswa sudah mampu untuk mengevaluasi teman-temannya dari beragam latar belakang, suku, agama, hingga kepribadian teman-temannya. Artinya siswa sudah mampu mengontrol dirinya  untuk mengenali kebiasaan dan ritual setiap teman-temannya yang berbeda satu sama lain.

Pada tingkatan terakhir, yakni mencipta (creating), secara teori dan praktek siswa mampu menciptakan kedamaian dalam perbedaan diantara mere yang berbeda dalam suku, agama dan kepribadian.

Dengan adanya kedamaian dan saling menghormati itu, maka akan lebih terbukalah jalan untuk berkolaborasi menciptakan inovasi-inovasi dalam proses pembelajaran seperti penemuan sepeda motor listrik, printer 3D, warnet tenaga surya dan lain-lain.

Sebagai penutup, dalam proses perubahan tidak akan pernah mengalami kenyamanan. Maka perubahan-perubahan dalam pendidikan khususnya harus segera dimulai dan dibiasakan.

Dalam mengahadapi tentangan zaman, Negara ini butuh manusia-manusia yang mampu berinovasi dalam ide dan menghasilkan karya, penemuan dan lowongan pekerjaan. Dan ini semua bisa di awali, dirakit, diterapkan dari bidang yang bertanggung jawab pada semua itu, yakni Pendidikan.

Penulis : Agi Julianto Martuah Purba
seorang prokopton (seseorang berusaha menjadi lebih baik)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun