Tulisan ini saya tulis dengan menilik balik bagaimana era yang begitu cepat berganti dari satu hal ke hal lain semakin rentan terjadi yang dikarenakan laju teknologi. Secara tidak langsung teknologi telah memaksa manusia untuk mengikuti alurnya agar manusia bisa tetap hidup di setiap perkembangan zaman pun dengan ragam tantangannya.
Hari ini dengan realitas yang sangat cepat memungkinkan manusia untuk memperoleh apa saja dengan cepat, hal ini tentunya bisa terjadi karena peran serta pemanfaatan teknologi. Sebagai sebuah contoh seorang siswa dapat mempelajari bagaimana mengerjakan tugas matematikanya dengan menonton tutorial pengerjaan soal di kanal Youtube dengan tutor yang telah paham dengan bidang tersebut.
Masih banyak contoh nyata bagaimana teknologi dapat memungkinkan manusia mengerjakan apa pun dengan rentang waktu yang cepat walaupun itu pada dasarnya adalah bukan bidang keahlian khususnya.
Terdapat sisi positif dan negatif sebagai dualisme dari pemanfaatan teknologi. Memanfaatkan teknologi dengan bijak sebagai hal yang membantu untuk menopang kehidupan manusia menuju kemajuan dalam proses kehidupan adalah sisi positif dari teknologi.
Di sisi lain, sisi negatif teknologi dapat membuat manusia semakin tidak ingin terlepas pada status quo. Hal ini berarti manusia sudah terlalu manja pada kecerdasan teknologi yang  mengakibatkan manusia menjadi apatis pada dirinya dan lingkungannya, juga minim berupaya dalam kegiatan sehari-hari karena telah terbiasa dengan semua hal yang serba cepat dan instan.Â
Berangkat dari pembahasan tentang sisi negatif dari kemajuan teknologi hari ini, penulis melihat bagaimana sumber daya manusia saat ini telah paham akan banyak hal di sekelilingnya seperti tren, pendidikan, olahraga maupun politik. Itu terbukti dengan banyaknya kritik tentang situasi kehidupan hari ini di berbagai aspek lebih mendidih di sosial media dan kedai kopi.Â
Ungkapan "Jack of all trades, master of none" tepat untuk  menggambarkan bagaimana seseorang dapat mengetahui banyak hal namun tidak secara mendalam dan mendasar.Â
Memang kita dituntut untuk tidak hanya fokus belajar ke satu bidang saja, namun dengan mendalami banyak hal membuat kita sulit untuk fokus pada satu pengetahuan secara intens.Â
Salah satu pemicunya adalah kondisi pendidikan kita, karena sistem pendidikan kita yang menuntut kita untuk fokus pada banyak mata pelajaran. Hal ini berbeda dengan beberapa negara yang telah membuat siswa fokus ke satu bidang yang diminatinya saja sehingga mereka bisa lebih fokus pada satu hal dan tidak terbebani dengan hal yang lain.Â
"Barangsiapa yang habitusnya paling pas, kapitalnya paling banyak, arenanya paling sesuai dialah pemenang kehidupan sosial" --Bourdieu
Walaupun demikian orang dengan tipe "Jack of all trades" tetap di butuhkan karena pengetahuannya yang luas. Di lain hal orang dengan tipe "master of one" adalah suatu kelebihan dimana seseorang yang dapat fokus ke satu bidang yang dia tekuni dengan sungguh-sungguh. Ini akan lebih baik jika disertai dengan sikap tidak menutup mata dengan pengetahuan-pengetahuan lain.Â
Berangkat dari kenyataan bahwa hari ini didominasi oleh orang-orang dengan berkarakteristik "Jack of all trades". Hal ini kemudian membuat informasi, pengetahuan, dan kritik diisi oleh mereka yang asal-asalan.Â
Oleh sebab itu, Â penulis menyadari bahwa di era postmodern seperti saat ini sangat diperlukan pemahaman dan pengenalan akan diri manusia itu sendiri. Jangan sampai karena teknologi, manusia menjadi apatis pada lingkungannya, apalagi pada dirinya sendiri.Â
Maksudnya bahwa manusia harus memiliki metode yang relevan pada tantangan zaman ini dengan dibantu oleh kesadarannya. Filsuf dengan aliran sosiologi kritis, Pierre Bourdieu mengenalkan inti pemikirannya yaitu Habitus (kebiasaan), Kapital (modal) dan Arena (ruang).
Habitus (kebiasaan) adalah Langkah pertama dimana manusia dengan kesadarannya mengkritisi dirinya sendiri terhadap kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan dalam hidupnya.Â
Menyadari apakah kebiasaan itu cocok atau tidak dalam membantunya untuk menuju cita-citanya? Sebagai contoh jika seorang mahasiswa bercita-cita untuk menjadi seorang akademisi atau seorang dosen tentu dia harus membiasakan dirinya untuk tekun membaca dan menulis sebagai sebuah ketekunan yang akan membantunya membuat penelitian sebagai seorang dosen suatu hari nanti.Â
Kapital (modal) adalah Langkah kedua, kapital atau modal terbagi menjadi 4 (empat) macam, modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik. Menurut Bourdieu biasanya modal sudah ada di setiap masing-masing manusia, namun modal itu harus relevan pada arena dan habitusnya.Â
Untuk menjalankan habitus pasti diperlukan modal, Sebagai contoh selanjutnya, seseorang yang bercita-cita menjadi dosen harus tekun membaca dan menulis, tentu diperlukan buku sebagai modal. Modal ekonomi adalah dana yang digunakan untuk membeli buku.
Modal sosial bisa dikatakan relasi dengan orang-orang baik teman maupun dosen yang membantu dia memberikan referensi bacaan, informasi maupun membantu secara teknis.Â
Modal budaya adalah status sosial, dimana seorang yang ingin menjadi dosen harus memiliki kenalan yang membantunya untuk masuk ke ruang lingkup menjadi dosen.Â
Modal yang terakhir adalah simbolik, ini adalah modal embel-embel, gelar, tentunya jika ingin menjadi dosen dia harus menamatkan program sarjana S1 dan S2 yang menjadi syarat mutlak untuk itu.
Arena (ruang) adalah langkah terakhir setelah habitus dan kapital. Arena adalah ruang tempat pengaplikasian semua habitus, sering sekali kita terjebak pada arena yang tidak relevan dengan habitus dan modal kita.Â
Sebagai contoh mahasiswa yang ingin menjadi dosen tadi sudah membangun habitus membaca dan menulis, sudah memiliki modal buku, relasi, status sebagai lulusan program pasca sarjana, gelar magister pendidikan namun berkecimpung di dunia kesehatan ataupun politik.
Tentunya hal itu membuat habitus dan kapitalnya tidak relevan dengan arena yang membuat dirinya tidak sampai pada bidang yang dia usahakan sejauh ini dan sebaliknya dia menjadi seorang dokter ataupun politikus yang tidak relevan dan 'tidak diakui' sesuai pada bidangnya.Â
Dengan memperhatikan habitus, kapital, dan arena pada diri kita masing-masing, kita akan lebih optimis menghadapi tantangan dan realitas di masa depan karena kita telah mengatur dan mengendalikan diri kita dengan kebiasaan, modal dan arena juang yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan di awal.
Maka kehidupan akan lebih optimis dan maju jika lingkungan sosial yang terdiri dari individu-individu fokus pada titik bidang keahliannya dan dalam arti tetap membuka mata pada apa saja yang terjadi pada ruang di ruang lingkup lainnya. Dengan begini semua orang diakui pada bidang yang digelutinya sesuai dengan habitus, kapital, dan arenanya masing-masing.Â
Untuk menyimpulkan tulisan ini, penulis mengutip pada pesan Bourdieu, "Barangsiapa yang habitusnya paling pas, kapitalnya paling banyak, arenanya paling sesuai dialah pemenang kehidupan sosial".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H