Mohon tunggu...
Ayu Gina Utari
Ayu Gina Utari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

senang menulis, sekalipun tak tahu akan jadi apa tulisannya, memerlukan banyak sekali masukan dan kritik. bercita-cita melangkahkan kaki keluar, entah itu benua asia, australia, eropa, amerika atau afrika. kelak ingin bekerja di dunia media dan kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Nabung Pohon; Sebuah Kisah bernama Keyakinan

10 Mei 2013   14:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:48 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Sepertinya sulit sekali hidup di kota, kalau kita berharap atau memaksakan diri akan adanya tempat tersedia walau hanya sedikit untuk ditanami pohon.

Saya tak tahu persisnya karena sesungguhnya saya adalah orang desa, yang tinggal di perkampungan dengan sekeliling rumah masih banyak terhampar pesawahan, dan pepohonan; Kelapa, mangga, rambutan, jeruk nipis, dan kawan-kawan.

Kesulitan apa yang dihadapi oleh mereka yang hidup di perkotaan dengan problem dan konflik yang berbeda pun tak begitu saya pahami, dan sesungguhnya sedikit agak lancang bagi saya untuk mengajak para "Citizen" untuk berupaya menanami tempat tinggalnya dengan "Sepohon kayu daunnya rimbun, lebat bunganya serta buahnya".

Kesannya seakan-akan saya ini Bapak Presiden SBY yang bilang sama rakyatnya : "BBM itu harus naik, dan kita pasti bisa melewati dan menghadapinya, salah satu solusinya tentu saja dengan BLT, semangat yaaaa!! ".

Padahal hidup kan tak segampang itu, yang punya kendaraan roda dua semacam motor, yang cicilannya belum lunas, dengan gaji pas-pasan, punya anak 5, dan bukan dari golongan PNS, sementara motornya harus selalu diisi bensin karena ternyata dari rumah menuju tempat kerjanya tak ada kendaraan umum, dan kendaraan yang mampu melewati rute rumahnya hanyalah motor, bagaimana mungkin akan dengan mudah menerima kebijakan macam itu?

Sedang disisi lain beberapa kendaraan dengan plat merah dan kendaraan beroda empat dengan warna bersinar, keluaran baru, deru suara kendaraan halus, melenggang dengan pasti ke arah pom bensin bertuliskan "BBM Bersubsidi", lalu dengan ringannya berkata "Mas, full tank yahh". Yang macam begini pun herannya masih ada juga yang tak terima BBM naik kelas.

Sungguh pelik. Maka itu sulit sekali menjadi pemegang keputusan apalagi di negeri dimana segala rupa hal bisa jadi masalah, mulai dari Dukun, Santet, Bawang Putih, Selebriti yang jadi Caleg, Selebriti yang terjerat Narkoba, Selebriti bercerai, Selebriti nikah lagi, sampai Impor Sapi.

Lantas kalau sudah seperti ini bagaimana kita akan menularkan upaya menabung pohon yang dicanangkan oleh Bank CIMB lewat CIMB Niaga Peduli Lingkungan jika lahannya saja tak ada? kesannya jadi seperti kita mau jualan es krim, tapi nggak punya freezer.

Maka, semua terkesan seperti tak perlu, tak tepat, kurang sasaran, dan semacam itu. Namun, lantas kalaulah kita biarkan negeri ini, tak usah kita pedulikan yang namanya nabung-nabung pohon, lebih baik nabung uang di bank daripada nabung pohon yang tanahnya aja nggak ada. Maksud hati memeluk gunung apa daya gunungnya tak ada.

Jika kita biarkan semuanya.

Apakah kelak kita tak akan menyesal? Tak akan rindukah kita dengan pohon jambu air di pematang sawah yang dinaiki bersama teman-teman sekolah dengan wajah dekil penuh keringat, namun juga berlumur tawa??

Semuanya tentu saja perlu solusi, saran, dan teman-temannya. Perlu ada  kerja sama dan pembicaraan antar berbagai pihak, bagaimana solusi bagi perumahan padat penduduk tanpa lahan kosong untuk satu-dua batang pohon.

Lantas sebagai masyarakat, apa daya kita? Bagaimana agar aspirasi kita didengar? karena rasa-rasanya belakangan ini semua orang saling memperdengarkan pendapat dan aspirasinya, mendiskusikannya di ruang publik, namun semua itu hanya bergema di sekitar kita saja, suara kita seperti kurang kencang dan tak terdengar ke "atas" sana, atau mungkin tingkah kita malah nampak seperti dagelan oleh mereka?

Lalu bagaimana? Apakah kita tidak bisa ngapa-ngapain?.

Sebagai orang kampung, akan nampak lancang dan kurangajar kalau saya dengan menggebu memberikan saran ini-itu pada mereka yang hidupnya dikelilingi hutan tembok tinggi. Tapi bukankah semua dapat diusahakan? orang yang tinggal disana dan setiap hari bergelut disana lebih dimungkinkan paham akan kondisi lingkungannya, dan kemungkinan celah yang dapat diambil termasuk bagaimana mencari solusi agar negeri kita yang ngawur ini menjadi sedikit lebih baik.

Hanya saja untuk seperti itu, ada hal yang kita perlu miliki terlebih dahulu ; Keyakinan.

Percaya kalau kita bisa. Karena jika kita tak percaya kita bisa mengubah sesuatu, bagaimana mungkin orang lain akan percaya terhadap kita?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun