Kau adalah tetes tangis langit di tepi kemarau. Temani derita di bingkai nomena. Memeluk hikmah di bangkai usia. Aku pun memandang absurd eksistensimu. Senyummu mengantar hening di sekitar harum nafas. Tangismu mengendap bisu di hambarnya waktu. Elegi akhir lagu di atas nisan kebersamaan. Rektifikasi makna cinta di salib pengkhianatan. Aku masih berbaring diantara aliran darah yang kau telan di ujung waktu tadi. Terpercik nuansa kelam di balik retak bayangmu. Percuma saja menghindari lisan-lisanmu. Karena gemuruh kata-kata itu semakin menguliti pikiranku. Karena tetes tangis langit ini masih setia menghampiriku. Karena aku masih mencintaimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H