Di era media sosial (medsos) seperti sekarang, tren gaya hidup seperti "No Buy January," "Veganuary," dan "Digital Detox" kerapkali muncul sebagai penawaran solusi untuk hidup lebih sehat, hemat, dan terkoneksi dengan diri sendiri.
Â
Ketiga hal tersebut menawarkan janji-janji manis seperti penghematan uang, tubuh yang lebih sehat, serta pikiran yang lebih jernih. Akan tetapi, apakah tren ini benar-benar memberikan efektivitas seperti yang dijanjikan, atau cuma sekadar fenomena viral tanpa dampak nyata?
"No Buy January" mengajak orang untuk tidak membeli barang-barang tidak terlalu penting (non esensial) selama satu bulan penuh. Melalui tren ini seolah kita tengah memberikan ruang bagi diri kita sendiri untuk mengevaluasi pola konsumsi. Namun, seperti dikatakan oleh Henry David Thoreau, "The cost of a thing is the amount of what I will call life which is required to be exchanged for it, immediately or in the long run." (Harga sebuah barang adalah jumlah kehidupan yang kita tukarkan untuknya, baik langsung maupun jangka panjang).
Lantas, apakah kita sadar bahwa yang sering dianggap hemat dalam jangka pendek bisa saja menjadi bumerang di kemudian hari?
Manfaat dan Risiko "Veganuary"
Veganuary, yang mendorong orang untuk menjalani pola makan vegan selama bulan Januari ini telah menjadi sorotan besar. Bagi sebagian orang, tantangan ini menjadi pintu masuk menuju pola makan sehat dan ramah lingkungan.
Akan tetapi, di balik tren ini sebenarnya terdapat risiko miskomunikasi tentang nutrisi. Karena tidak semua orang memahami bagaimana cara mendapatkan protein, vitamin B12, atau zat besi dari sumber nabati, yang justru bisa menyebabkan kekurangan nutrisi apabila tidak dilakukan dengan benar.
Data dari Vegan Society menunjukkan bahwa 51% peserta Veganuary merasa lebih sehat setelah menyelesaikan tantangan ini. Namun, angka ini harus diimbangi dengan edukasi yang tepat tentunya. Terlebih kalau sampai melakukannya sekadar FOMO tanpa referensi yang bisa dipertanggungjawabkan kualitasnya.
Jadi, bagaimana cara kita memastikan bahwa pola makan ini bisa berkelanjutan tanpa harus menguras kantong? Mungkin alternatif seperti kacang-kacangan, tahu, atau tempe bisa menjadi solusi lokal yang ramah biaya.
Tapi, saran saya, sebelum menjalankan pola hidup semacam ini galilah informasi sebanyak mungkin dari sumber-sumber terpercaya agar kita tidak sampai FOMO ala kadarnya.
Detox Digital, antara Koneksi atau Isolasi?
Digital Detox menawarkan solusi untuk mengurangi paparan media sosial dan perangkat elektronik demi kesehatan mental. Faktanya, sebuah penelitian dari American Psychological Association menunjukkan bahwa detoks digital memang dapat meningkatkan suasana hati dan kualitas tidur.
Namun, tanpa strategi yang tepat, detoks ini malah dapat menciptakan isolasi sosial, terutama bagi mereka yang bergantung pada perangkat digital untuk pekerjaan atau komunikasi.
Solusi terbaik untuk hal ini adalah mencari titik keseimbangan, misalnya, menetapkan waktu khusus kapan offline dan kapan menggunakan teknologi untuk tujuan produktif. Sekadar saran, gunakan aplikasi yang membantu kita melakukan manajemen waktu sebagai bagian dari detoks ini, bukan serta merta memutus koneksi kita secara total.
Apakah Tren Ini Sesuai untuk Kita?
Tren-tren semacam ini sebenarnya memiliki niat baik, meskipun dalam penerapannya perlu disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing individu, karena tidak semua orang cocok dengan tantangan yang sama. Pada intinya adalah menemukan apa yang bekerja untuk diri sendiri tanpa harus merasa terpaksa mengikuti arus tren yang ada.
Contohnya, jika "No Buy January" dirasa terlalu ketat, maka kita bisa memulainya dengan mengurangi pembelian barang yang benar-benar tidak diperlukan. Jika Veganuary terlalu sulit, cobalah memperbanyak konsumsi sayur dan buah secara perlahan. Dan jika Digital Detox dianggap terlalu menantang, maka mulailah dengan detoks selama beberapa jam dalam sehari.
Hidup sehat dan hemat memang menjadi tujuan banyak orang, terutama di era modern ini. Namun, seperti semua hal, tren ini pun perlu dijalani dengan pendekatan yang cerdas, tepat, berbasis data, serta disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Daripada hanya sekadar mengikuti tren viral, jadilah pribadi yang lebih selektif. Yang kita mesti ingat adalah tren hanyalah sebuah alat perantara, bukan tujuan akhir.
Seperti kata Aristoteles, "Knowing yourself is the beginning of all wisdom." (Mengenali diri sendiri adalah awal dari semua kebijaksanaan).
Mengenali kebutuhan dan batasan diri adalah langkah pertama menuju keberhasilan dalam menjalani gaya hidup yang lebih baik. Jadi, sudah siapkah Kalian untuk menjadi lebih sehat, hemat, dan cerdas dalam menghadapi tren?
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI