Seorang disabilitas tunadaksa berinisial IWAS atau Agus Buntung menjadi headline berita beberapa hari terakhir ketika terungkap mampu memanfaatkan retorika untuk melakukan pelecehan seksual kepada banyak korbannya. Sosok ini menunjukkan pada kita bahwasanya manipulasi psikologis tidak mengenal batas fisik ataupun latar belakang. Seorang disabilitas yang bagi sebagian kalangan dipersepsikan tidak berdaya, nyatanya juga mampu melakukan tindak kejahatan serupa orang normal pada umumnya.
Fenomena ini menggambarkan bagaimana manipulasi psikologis layaknya senjata tak terlihat yang digunakan untuk menjalankan agenda kejahatan modern. Bukan sekadar pengaruh sesaat, teknik ini juga membangun ilusi untuk mengontrol pikiran dan emosi para korban.
Manipulasi seringkali dimulai dengan permainan komunikasi, seperti memanfaatkan rasa takut atau bersalah. Konsep ini tak asing di dunia kriminal, seperti yang dijelaskan dalam buku Applied Social Psychology oleh Schneider dan kolega. Lebih jauh, manipulasi juga melibatkan teknik deindividuasi, yakni membuat pelaku merasa anonim, sehingga tanggung jawab moralnya terhapus.
Zimbardo (1969) meneliti fenomena ini dalam eksperimen klasiknya, Stanford Prison Experiment. Yang mana para pelaku kejahatan modern memanfaatkan prinsip ini untuk memanipulasi persepsi korban.
Namun, manipulasi bukan hanya soal teori. Kisah Arya Dwipangga, seorang tokoh dalam cerita klasik Nusantara, menggambarkan bagaimana puisi menjadi alat untuk menghipnotis wanita. Dengan analogi ini, kita memahami bahwa manipulasi psikologis melibatkan seni komunikasi, yang memengaruhi kognisi dan emosi korban. Dalam kejahatan modern, teknik ini menjadi senjata utama, seperti yang digunakan dalam interogasi kriminal untuk mendapatkan pengakuan palsu.
Apa Itu Manipulasi Psikologis dalam Kejahatan?
Manipulasi psikologis didefinisikan sebagai upaya memengaruhi emosi, pikiran, atau perilaku seseorang tanpa sepengetahuannya, dan seringkali untuk keuntungan pelaku. Taktik seperti pemanfaatan ketakutan dan rasa bersalah menjadi andalan. Penelitian di Palo Alto University menunjukkan bahwa manipulasi kognisi, melalui bias konfirmasi, memperkuat narasi palsu yang dipercaya korban.
Contoh nyata adalah teknik isolasi dalam interogasi kriminal. Pelaku diisolasi, diberi tekanan emosional, hingga menyerah pada narasi yang dibuat oleh pelaku. Strategi ini tidak hanya ditemukan dalam kejahatan tingkat tinggi tetapi juga dalam hubungan sehari-hari, di mana kontrol emosional menjadi alat dominasi.
Dalam psikologi kriminal, bias konfirmasi digunakan untuk membingkai bukti secara selektif, sehingga memperkuat manipulasi. Kasus manipulasi psikologis semacam ini sering muncul dalam proses investigasi, di mana penyidik gagal memisahkan fakta dari asumsi awal. Strategi ini memperkuat kontrol psikologis terhadap korban ataupun tersangka.
Korban manipulasi sering mengalami trauma emosional yang mendalam. Seperti hilangnya kepercayaan diri, ketergantungan emosional, hingga gangguan kecemasan. Studi dari Applied Social Psychology mencatat bagaimana korban manipulasi cenderung kehilangan kemampuan berpikir kritis, karena narasi pelaku menggantikan realitas mereka.
Kasus Agus Buntung membuka wacana baru bahwa manipulasi psikologis tidak mengenal batas, bahkan dilakukan oleh individu yang dianggap lemah atau kurang berdaya. Hal ini menggugah kesadaran kita untuk tidak meremehkan siapa pun dalam konteks kriminalitas.