Mohon tunggu...
Agil Septiyan Habib
Agil Septiyan Habib Mohon Tunggu... Freelancer - Esais; Founder Growthmedia, dapat Dikunjungi di agilseptiyanhabib.com

Plan, Create, Inspire

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggugat Labelisasi Janda: Siapa yang Berhak Mendefinisikan Harga Diri Perempuan?

23 November 2024   06:25 Diperbarui: 23 November 2024   06:37 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti dikatakan oleh Simone de Beauvoir, “Representation of the world, like the world itself, is the work of men; they describe it from their own point of view, which they confuse with the absolute truth.” (Representasi dunia, seperti dunia itu sendiri, adalah karya laki-laki; mereka mendeskripsikannya dari sudut pandang mereka sendiri, yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak.) Tragisnya, pandangan ini sering kali diterima begitu saja, bahkan oleh perempuan itu sendiri.

Mengapa Labelisasi Membahayakan?

Labelisasi tidak sekadar menjadi deskripsi sosial. Ia bekerja seperti racun perlahan yang merasuk ke dalam identitas perempuan. Artikel Labeling Theory and Deviance: Understanding the Social Construction of Identity menjelaskan bahwa label negatif menciptakan identitas baru yang terkonstruksi melalui pandangan masyarakat.

Janda, misalnya, sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap "keseimbangan sosial" padahal perempuan dalam status ini justru sering menjadi korban ketidakadilan.

Misalnya, stigma janda sebagai "penggoda suami orang" adalah narasi yang tak berakar pada realitas, melainkan pada ketakutan patriarki akan kemandirian perempuan. Label ini mengisolasi perempuan, mempersulit mereka mendapatkan pekerjaan, hingga membatasi ruang sosial mereka di masyarakat.

Bayangkan dampaknya pada perempuan yang mencoba bangkit dari trauma perceraian atau kehilangan pasangan, alih-alih didukung, mereka justru diserang oleh prasangka.

Pahitnya lagi, jika perempuan yang sama memilih menikah lagi, ia akan dituduh “tak tahu malu”. Jika tidak, ia akan diberi label “kesepian”. Sungguh, masyarakat selalu memiliki sesuatu untuk dikritik atas kehidupan seorang janda.

Melawan Bias Patriarkal dengan Narasi Baru

Melawan stigma tidak bisa hanya dengan mengatakan "jangan menghakimi". Perlu ada narasi baru yang menghapuskan prasangka yang sudah mengakar. Seperti dalam Labeling and Women’s Stigma, edukasi masyarakat adalah langkah awal yang vital. Pendidikan ini harus menantang norma patriarkal dan membangun empati terhadap perjuangan perempuan.

Kuncinya adalah menggeser sudut pandang. Daripada melihat janda sebagai subjek kasihan atau ancaman, mengapa tidak merayakan mereka sebagai individu yang tangguh? Seorang janda yang mampu membangun karier atau mendidik anak-anaknya sendirian adalah cerminan kekuatan, bukan kegagalan. Ketika sebuah pekerjaan yang sama mampu diselesaikan seorang diri berbanding dikerjakan oleh dua orang itu berarti orang yang bersangkutan adalah pribadi yang tangguh, bukan?

***

Pada akhirnya, harga diri perempuan tidak bisa ditentukan oleh statusnya, apalagi oleh label sosial yang bias. Setiap perempuan memiliki hak untuk mendefinisikan dirinya sendiri, tanpa tekanan dari ekspektasi yang tak adil.

Seperti kata Eleanor Roosevelt, “No one can make you feel inferior without your consent.” 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun