Tumbuh di lingkungan penuh dengan narasi patriarki yang kuat, status perempuan acapkali menjadi subjek penghakiman tanpa dasar. Saya ingat betul, dalam beberapa acara keluarga, seorang kerabat dengan ringan mengucapkan, “Wajar saja, kan dia janda.” sebagai penjelasan atas perilaku seseorang yang bahkan tidak terkait dengan statusnya.
Pernyataan sederhana itu menyelinap dalam obrolan santai, namun membawa bias yang sarat stigma.
Label "janda" kerap melekat seperti segel permanen di dahi perempuan, melampaui sekadar status sosial dan mencerminkan ekspektasi yang seolah tak manusiawi. Dalam banyak kasus, label tersebut diikuti asumsi negatif, seperti ketergantungan finansial atau “perusak rumah tangga orang”, kegatelan, seolah perempuan yang menjadi janda tak lagi memiliki harga diri.
Apakah hanya karena status pernikahan, seseorang layak mendapatkan pandangan sedemikian sempit?
Teori labeling, seperti yang dijelaskan dalam artikel Labeling and Women’s Stigma: A Cross-Cultural Perspective, menyebutkan bahwa stigma yang dilekatkan masyarakat sering kali mengikis harga diri individu, terutama perempuan.
Dari sinilah muncul pertanyaan besar, siapa yang sebenarnya berhak mendefinisikan harga diri perempuan? Bagaimana narasi ini terus hidup dalam ruang sosial kita, dan apa dampaknya bagi perempuan penyandang status janda?
Narasi Patriarki dalam Labelisasi Janda
Dalam artikel Anthropology and Labeling: Critiques and Applications, dijelaskan bahwa masyarakat patriarkal sering memanfaatkan label sebagai alat kontrol sosial. Labelisasi terhadap perempuan, terutama yang menyandang status tertentu seperti janda, mengukuhkan struktur hierarki yang bias.
Janda dianggap keluar dari norma keluarga ideal, meski status tersebut sering kali di luar kendali mereka.
Namun, apa sebenarnya yang ingin dikontrol? Perempuan yang menjadi janda kerap dianggap melanggar aturan tak tertulis bahwa perempuan ideal adalah istri yang tunduk dan ibu yang mengabdi.
Ketika peran ini "gagal" dipenuhi, masyarakat segera menghadirkan narasi negatif sebagai bentuk koreksi. Padahal, kenyataan hidup jauh lebih kompleks dibandingkan stereotip yang dibangun.
Seperti dikatakan oleh Simone de Beauvoir, “Representation of the world, like the world itself, is the work of men; they describe it from their own point of view, which they confuse with the absolute truth.” (Representasi dunia, seperti dunia itu sendiri, adalah karya laki-laki; mereka mendeskripsikannya dari sudut pandang mereka sendiri, yang mereka anggap sebagai kebenaran mutlak.) Tragisnya, pandangan ini sering kali diterima begitu saja, bahkan oleh perempuan itu sendiri.
Mengapa Labelisasi Membahayakan?
Labelisasi tidak sekadar menjadi deskripsi sosial. Ia bekerja seperti racun perlahan yang merasuk ke dalam identitas perempuan. Artikel Labeling Theory and Deviance: Understanding the Social Construction of Identity menjelaskan bahwa label negatif menciptakan identitas baru yang terkonstruksi melalui pandangan masyarakat.
Janda, misalnya, sering kali dianggap sebagai ancaman terhadap "keseimbangan sosial" padahal perempuan dalam status ini justru sering menjadi korban ketidakadilan.
Misalnya, stigma janda sebagai "penggoda suami orang" adalah narasi yang tak berakar pada realitas, melainkan pada ketakutan patriarki akan kemandirian perempuan. Label ini mengisolasi perempuan, mempersulit mereka mendapatkan pekerjaan, hingga membatasi ruang sosial mereka di masyarakat.
Bayangkan dampaknya pada perempuan yang mencoba bangkit dari trauma perceraian atau kehilangan pasangan, alih-alih didukung, mereka justru diserang oleh prasangka.
Pahitnya lagi, jika perempuan yang sama memilih menikah lagi, ia akan dituduh “tak tahu malu”. Jika tidak, ia akan diberi label “kesepian”. Sungguh, masyarakat selalu memiliki sesuatu untuk dikritik atas kehidupan seorang janda.
Melawan Bias Patriarkal dengan Narasi Baru
Melawan stigma tidak bisa hanya dengan mengatakan "jangan menghakimi". Perlu ada narasi baru yang menghapuskan prasangka yang sudah mengakar. Seperti dalam Labeling and Women’s Stigma, edukasi masyarakat adalah langkah awal yang vital. Pendidikan ini harus menantang norma patriarkal dan membangun empati terhadap perjuangan perempuan.
Kuncinya adalah menggeser sudut pandang. Daripada melihat janda sebagai subjek kasihan atau ancaman, mengapa tidak merayakan mereka sebagai individu yang tangguh? Seorang janda yang mampu membangun karier atau mendidik anak-anaknya sendirian adalah cerminan kekuatan, bukan kegagalan. Ketika sebuah pekerjaan yang sama mampu diselesaikan seorang diri berbanding dikerjakan oleh dua orang itu berarti orang yang bersangkutan adalah pribadi yang tangguh, bukan?
***
Pada akhirnya, harga diri perempuan tidak bisa ditentukan oleh statusnya, apalagi oleh label sosial yang bias. Setiap perempuan memiliki hak untuk mendefinisikan dirinya sendiri, tanpa tekanan dari ekspektasi yang tak adil.
Seperti kata Eleanor Roosevelt, “No one can make you feel inferior without your consent.”
(Tak seorang pun bisa membuatmu merasa rendah tanpa persetujuanmu.)
Label "janda" bukanlah penentu nilai seseorang, melainkan sekadar status administratif yang sama sekali tidak relevan dengan martabat dan potensi perempuan. Saat masyarakat mulai mengakui hal ini, stigma patriarkal akan kehilangan kekuatannya.
Maturnuwun,
Growthmedia
NB : Temukan artikel cerdas lainnya di www.agilseptiyanhabib.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H