Di era digital yang serba canggih ini, praktik judi online (judol) Â begitu leluasa dan semakin merajalela. Mulai sari platform anonim hingga promosi di media sosial, seakan judol ada dimana-mana. Fenomena ini tidak hanya menjadi ancaman sosial, tetapi juga tantangan besar bagi penegakan hukum kita.
Tapi, uniknya, meskipun ribuan pemain berhasil dijerat, nama-nama besar yang disebut "bandar" tetap saja seperti hantu, seperti menghilang tanpa jejak. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: kenapa begitu sulit menangkap para penguasa judi online?
Salah satu jawabannya mungkin terletak pada labirin regulasi yang ada. Judi online sering kali dioperasikan dari yurisdiksi internasional dengan regulasi lemah atau bahkan tidak ada sama sekali.
Menurut sebuah artikel di Harvard Law School, platform judi online kerap menjadi alat kejahatan terorganisir seperti pencucian uang. Tambahkan teknologi seperti cryptocurrency yang sulit dilacak, dan Anda mendapatkan resep sempurna untuk aktivitas ilegal yang nyaris tidak terjangkau.
Namun, tak hanya teknologi yang menjadi tameng. Regulasi yang tidak seragam juga menciptakan celah besar. Contohnya, di Amerika Serikat, undang-undang seperti Unlawful Internet Gambling Enforcement Act (UIGEA) dirancang untuk membatasi transaksi finansial yang terkait judi ilegal. Tetapi kenyataannya, ini malah memindahkan aktivitas judi online ke wilayah abu-abu hukum, sehingga membuat pengawasan menjadi lebih sulit.
Mengurai Keterlibatan Teknologi dalam Judi Online
Teknologi seharusnya mempermudah kita menangkap pelaku kriminal, bukan? Nyatanya, teknologi juga menjadi sekutu terbesar para bandar judi. Dengan menggunakan server tersembunyi dan protokol enkripsi tingkat tinggi, aktivitas perjudian menjadi hampir tidak mungkin dilacak.
Sebuah studi yang diterbitkan oleh Gaming Law Review menunjukkan bahwa pendekatan tradisional sudah tidak relevan. Teknologi modern seperti kecerdasan buatan dan blockchain diperlukan untuk melacak pola transaksi yang mencurigakan.
Bukan tidak mungkin sekarang ini teknologi yang dipergunakan para bandar sudah tingkat 2,3, dan seterusnya, sementara teknologi aparat penegak hukum kita masih di level 1. Alias tidak berimbang.
Jadi, di mana sebenarnya letak masalahnya? Jawabannya adalah minimnya kemauan politik untuk menginvestasikan teknologi canggih ini ke dalam regulasi. Penegakan hukum sering kali hanya terfokus pada menangkap pelaku kecil tanpa memikirkan akar permasalahan.
Dengan kata lain, ini seperti mencoba menutup lubang di dinding yang bocor tanpa pernah memeriksa pipa utamanya.